Rencana pengaktifan kembali Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa (Pamswakarsa) menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi. Pengaktifan Pamswakarsa wajib melalui pengukuhan Polri.
Pakar Kebijakan Publik dari Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Kota Malang, Alie Zainal Abidin menilai penggunaan istilah Pamswakarsa perlu ditinjau kembali secara serius oleh pemerintah, khususnya oleh pemerintah daerah.
Menurut Alie, penggunaan istilah tersebut tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah masa lalu yang penuh kontroversi, khususnya saat terjadi kerusuhan politik pada tahun 1998.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Istilah Pamswakarsa memiliki sensitivitas historis dan psikologis. Kita tidak bisa sembarangan menggunakan istilah ini tanpa mempertimbangkan dampaknya pada persepsi publik," tutur Alie kepada detikJatim, Rabu (10/9/2025).
Alie menjelaskan sejauh ini tidak ada instruksi resmi dari Presiden atau institusi negara terkait keamanan seperti Polri maupun TNI untuk membentuk kembali Pamswakarsa.
Yang ada, kata dia, hanya imbauan dari TNI kepada masyarakat agar berpartisipasi aktif menjaga keamanan lingkungan. Namun, imbauan itu bersifat sukarela, bukan mandat hukum.
"Jika ada kepala daerah yang berinisiatif membentuk atau mengaktifkan kembali Pamswakarsa tanpa melalui prosedur resmi, itu bisa dikategorikan sebagai bentuk maladministrasi!" tegas Alie.
"Ini merupakan tindakan diskresi yang tidak sah karena bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik," imbuhnya.
Dia pun menekankan bahwa keberadaan Pamswakarsa telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020.
Dalam regulasi itu disebutkan bahwa Pamswakarsa harus mendapat pengukuhan langsung dari Kepolisian, bukan dari kepala daerah, DPRD, atau pejabat daerah lainnya.
"Kalau tidak dikukuhkan oleh Polri, itu berarti tidak sah. Tidak bisa Wali Kota atau Ketua DPRD yang mengukuhkan. Ada mekanismenya," katanya.
Alie juga mengingatkan potensi konflik horizontal jika pembentukan Pamswakarsa dilakukan secara sembarangan. Hal itu mengingat Pamswakarsa terdiri dari unsur masyarakat sipil, sehingga ada risiko gesekan antarwarga seperti yang pernah terjadi pada November 1998 saat Sidang Istimewa MPR berlangsung.
Dia juga menambahkan bahwa dalam konteks lokal dan gotong royong, penggunaan istilah seperti 'siskamling' dibandingkan dengan Pamswakarsa menurutnya akan jauh lebih tepat.
"Semangatnya sama, menjaga lingkungan secara kolektif. Tapi istilahnya tidak memicu trauma sejarah dan polemik di masyarakat," jelasnya.
Alie pun mengimbau semua kepala daerah di Indonesia agar tidak gegabah menggunakan istilah atau membentuk struktur keamanan yang berbasis masyarakat dan tidak melibatkan Polri.
"Jika ingin melibatkan masyarakat dalam menjaga ketertiban, lakukan sesuai aturan. Jangan sampai niat baik berubah menjadi polemik karena prosedur hukum tidak ditempuh," pungkasnya.
(dpe/hil)












































