Kericuhan demo di Surabaya pada 29-30 Agustus 2025 banyak melibatkan remaja. Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Achmad Hidayatullah PhD menyebut remaja lebih mudah terprovokasi saat demo.
Dari pengamatan detikJatim selama demo ricuh di Surabaya, banyak remaja yang terlibat. Tak sedikit dari mereka yang ikut melempar-lempar ke aparat atau instansi, bahkan ditangkap oleh polisi.
Menurut Dayat, fenomena banyaknya remaja yang terlibat dalam demonstrasi di Surabaya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama demonstrasi linier dengan persoalan masyarakat, misalkan ekonomi yang memburuk, lapangan kerja yang sulit, dan ketimpangan pendapatan antarpihak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Demonstrasi kemarin ibarat bom waktu yang memang sudah lama diprediksi akan terjadi," kata Dayat kepada detikJatim, Senin (1/9/2025).
Kedua, keterlibatan remaja dalam demo yang justru terlibat dalam kerusuhan seperti di Surabaya maupun di Jakarta dirasa sangat mengkhawatirkan.
"Peristiwa tersebut tidak bisa disebut kenakalan remaja, namun lebih pada gejala masalah sosial dan psikologis yang mendalam," ujarnya.
Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UM Surabaya ini menilai, bahwa remaja mudah terprovokasi. Sehingga menimbulkan demo yang anarkis.
"Remaja memang cenderung lebih mudah diprovokasi. Mengapa demikian, karena remaja masih cenderung memilih fixed mindset yang cenderung merasa perlu membuktikan diri secara terus menerus," jelasnya.
"Keterlibatan mereka dalam aksi yang cenderung anarkis khususnya berkelompok membuat mereka merasa kekuatan dan kemampuan mereka tervalidasi. Mereka akan merasa tervalidasi sebagai kelompok yang berani dan melawan, bukan pengecut, tanpa memikirkan konsekuensi panjang yang sebetulnya merugikan masyarakat," tambahnya.
Meski begitu, Dayat menyebut, bila melihat dari peristiwa akhir Agustus, bisa jadi siswa bukan sekadar ikut-ikutan. Namun didorong oleh keyakinan kuat, namun bisa saja salah arah.
Banyak siswa juga meyakini bahwa perubahan terhadap persoalan ekonomi dan sosial masyarakat bisa dirubah melalui usaha. Namun, jika mereka diarahkan oleh provokator yang cerdas, remaja akan menganggap kerusuhan adalah satu satunya yang dianggap efektif untuk perubahan.
"Keinginan kuat untuk belajar dan berkontribusi akan memperkuat keyakinan mereka untuk terlibat demonstrasi dan sangat mengkhawatirkan, jika keyakinan tersebut justru bersenyawa dengan dorongan-dorongan provokatif dari pihak tertentu," tegasnya.
Baginya, pantauan dari guru dan orang tua menjadi sangat penting. Orang tua dan guru dapat menggunakan pendekatan cara berpikir bertumbuh, seperti berdialog, penekanannya memberi siswa apresiasi pada proses.
Dayat mencontohkan, ketika berdialog dan anak mengungkapkan ide dan kekesalannya terhadap sebuah isu, guru dan orang tua dapat memuji proses berpikir mereka, upaya mereka menjadi informasi, dan mendorong menggunakan berbagai sudut pandang. Dengan demikian anak akan belajar lebih baik dan tidak memahami solusi instan dalam sebuah persoalan.
"Sebuah agenda mendesak bagi guru untuk mengajarkan siswa menganalisis informasi dari berbagai sumber. Beri siswa tugas yang mendorong mereka membandingkan sumber informasi dari berbagai pihak dan berbagai sumber yang kredibel," pungkasnya.
(auh/hil)