Stigma-Diskriminasi Masih Menghantui ODHIV, Ini Saran untuk Pemerintah

Stigma-Diskriminasi Masih Menghantui ODHIV, Ini Saran untuk Pemerintah

Aprilia Devi - detikJatim
Kamis, 21 Agu 2025 23:00 WIB
Ketua Sekretariat Nasional JIP, Meirinda Sebayang yang menyoroti soal penanganan HIV/AIDS di Indonesia
Ketua Sekretariat Nasional JIP, Meirinda Sebayang yang menyoroti soal penanganan HIV/AIDS di Indonesia. (Foto: Aprilia Devi/detikJatim)
Surabaya -

Penanganan HIV/AIDS di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar, bukan hanya dari sisi penanganan medis, tapi juga dari sisi sosial. Stigma dan diskriminasi terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHIV/ODHA) dinilai masih kuat dan nyata dirasakan hingga hari ini.

Salah satu organisasi yang memiliki fokus pada isu tersebut, Jaringan Indonesia Positif (JIP) mengungkapkan bahwa berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, hingga triwulan I tahun 2023, tercatat 13.279 kasus baru HIV dari total 1,2 juta lebih orang yang menjalani tes HIV.

Dari jumlah tersebut, cakupan pengobatan antiretroviral (ARV) sudah mencapai 82% atau sekitar 10.924 orang. Namun, capaian tersebut dinilai belum cukup. Persoalan terbesar justru masih bergelayut di lapangan seperti kesetaraan, akses layanan, dan stigma sosial.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Sekretariat Nasional JIP, Meirinda Sebayang mengatakan bahwa upaya yang dilakukan semestinya bukan semata soal menyediakan obat, tapi memastikan ODHIV/ODHA bisa hidup layak dan bermartabat.

"Kalau terkait isu kesehatan, yang kami perjuangkan juga bagaimana memastikan semua orang dengan HIV itu mendapatkan pengobatan. Obat-obatan yang ada saat ini alhamdulillah sudah bisa diakses gratis karena disediakan pemerintah. Tapi tentunya kami juga menunggu inovasi-inovasi terbaru," ujar Meirinda usai Kongres III JIP di Surabaya, Kamis (21/8/2025).

ADVERTISEMENT

Ia menyinggung soal pengobatan terbaru berbentuk injeksi 6 bulan sekali yang diharapkan bisa segera hadir di Indonesia.

"Kalau sekarang sehari sekali minum obat, kami berharap ke depan ada pengobatan yang cukup disuntik setiap 6 bulan. Itu akan sangat meringankan, bukan cuma secara medis, tapi juga secara mental dan ekonomi," jelasnya.

Namun tantangan terbesar saat ini kuga masih datang dari stigma. Meirinda mengaku bahwa diskriminasi terhadap ODHIV/ODHA belum juga hilang

"Kita harus akui, isu HIV itu momoknya masih mengerikan. Meski sudah agak berkurang, tapi ini tidak diikuti dengan menurunnya stigma terhadap diri sendiri. Nah ini yang harus kita perkuangkwn bersama-sama dengan komunitas dan pemerintah agar mereka bisa melanjutkan kehidupannya ke depan dengan jauh lebih layak," tegasnya.

Meirinda pun mendorong agar masyarakat dan pemerintah bisa menormalisasi HIV bukan merypakan aib sosial.

"Sejak HIV muncul di Indonesia, stigma-nya kuat banget. Padahal ini masalah kesehatan. Sama seperti penyakit kronis lainnya. ODHIV/ODHA juga warga negara yang punya hak hidup, menikah, sekolah, kerja. Itu prioritas kita ke depan," tegasnya.

Pernyataan senada juga disampaikan Wakil Ketua Komisi E DPRD Jawa Timur, Hikmah Bafaqih. Ia menilai, diskriminasi terhadap ODHIV/ODHA adalah kisah lama yang tak kunjung selesai.

"Ini cerita lama yang gak usai-usai ya. Diskriminasi, stigma, itu masih kuat dirasakan. Ini karena kesalahpahaman. Masyarakat tidak cukup punya pengetahuan tentang HIV, lalu mudah menstigma karena ketidaktahuannya itu," ujarnya.

Hikmah menyayangkan, banyak masyarakat masih memiliki ketakutan berlebihan terhadap HIV, padahal secara medis, penularannya tidak semudah yang dibayangkan.

"Flu itu malah lebih gampang menular. Tapi orang sudah keburu takut. Edukasi kita tentang ini masih belum masif, masih kurang kuat," katanya.

Akibat minimnya pemahaman ini, dampaknya sangat terasa. Hikmah menyebut banyak kasus ODHIV/ODHA yang dipecat dari pekerjaan, dikucilkan keluarga, hingga takut datang ke layanan kesehatan.

"Cerita ODHIV yang tiba-tiba dipecat itu nyata. Dijauhi, dianggap menjijikkan. Padahal mereka butuh dukungan, bukan dijauhi. Kita hormat kepada mereka yang berani speak up, tapi sayangnya respons dari pihak-pihak terkait itu belum seperti yang diharapkan," lanjutnya.

Salah satu persoalan mendasar juga muncul dari layanan dasar yakni distribusi ARV. Menurutnya, walaupun sudah ditanggung APBN, di lapangan sering ada kendala.

"Yang biasanya dikasih sebulan, sekarang jadi mingguan. Padahal untuk datang ke puskesmas saja teman-teman ODHIV itu sudah perlu perjuangan. Kalau bisa diberikan dalam durasi lebih panjang, itu sangat membantu mereka," ungkapnya.

Hikmah menegaskan, negara punya tanggung jawab untuk memastikan seluruh hak dasar mereka terpenuhi, mulai dari pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan, hingga perumahan layak.

"Menunggu stigma hilang itu gak realistis. Tapi hak-hak dasar ODHIV harus diberikan sekarang. Kita gak bisa tunggu sampai masyarakat paham semua. Edukasi jalan terus, tapi layanan juga harus terus dibuka dan dijamin," pungkasnya.




(auh/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads