Saat Gerbong KA Jadi Propaganda Perjuangan hingga Musuh pun Gentar

80 Tahun Indonesia Merdeka

Saat Gerbong KA Jadi Propaganda Perjuangan hingga Musuh pun Gentar

Aprilia Devi - detikJatim
Sabtu, 16 Agu 2025 17:15 WIB
Pameran Foto Jejak Kereta Api Dalam Perjuangan Kemerdekaan RI

Pengguna KRL melihat pameran foto Jejak Kereta Api Dalam Perjuangan Kemerdekaan RI di stasiun Pal Merah, Jakarta, Kamis (17/08/2017). Pameran ini diselenggarakan sebagai bentuk peringatan HUT Ri ke 72 yang digelar oleh PT. KAI. Grandyos Zafna/detikcom
Ilustrasi. Salah satu foto dalam pameran Jejak Kereta Api Dalam Perjuangan Kemerdekaan RI. (Foto: dok. Grandyos Zafna/detikc
Surabaya -

Riuh kemerdekaan tak datang seketika. Di Jawa Timur, terutama di Kota Pahlawan Surabaya, semangat kemerdekaan menyala lebih cepat dan eksplosif lewat aksi-aksi simbolik yang mengguncang. Salah satunya peristiwa Flaggen Actie, aksi pengibaran bendera Merah Putih secara masif pasca-17 Agustus 1945.

Namun, berkobarnya semangat Arek-arek Suroboyo pada saat itu juga turut dipicu oleh berbagai propaganda kemerdekaan yang dicoretkan di gerbong-gerbong kereta api.

"Jawa Timur itu lebih dulu meriah, istilahnya begitu ya. Akhir Agustus, itu ada yang namanya Flaggen Actie. Aksi bendera. Semua orang di sini mengibarkan Merah Putih. Di sepeda, kendaraan, rumah, sampai pedati. Bahkan di buku sejarawan Australia ditulis, sapi penarik pedati pun dicat Merah Putih," kata pendiri Komunitas Sejarah Roodebrug Soerabaia, Ady Setyawan kepada detikJatim, Sabtu (16/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena itu tidak muncul tiba-tiba. Ady menjelaskan bahwa selama penjajahan Belanda pada Agustus selalu identik dengan perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina.

Surabaya biasanya dominan dihiasi warna Merah Putih Biru, warna bendera Belanda, di momen-momen tersebut. Maka, setelah Proklamasi Kemerdekaan itu warna yang menghiasi Kota Pahlawan berubah menjadi Merah Putih. Dampaknya tidak hanya simbolik tapi juga psikologis.

ADVERTISEMENT

"Itu memukul mental orang-orang pro-Belanda. Karena biasanya tiap Agustus mereka rayakan dengan bendera Belanda, tiba-tiba tahun itu berubah total. Dampaknya besar," tambah Ady.

Di tengah keterbatasan media masa itu, TV belum ada, radio hanya dimiliki segelintir orang. Saat itulah kereta api menjadi alat propaganda yang efektif. Bukan cuma mengangkut penumpang, gerbong kereta menjadi pembawa semangat kemerdekaan.

"Orang menulis slogan dan pesan-pesan kemerdekaan di gerbong kereta. Jadi, begitu kereta lewat, pesan itu terbaca masyarakat daerah lain. Itu cara menyebar propaganda ke daerah-daerah (terutama di Pulau Jawa) waktu itu," tutur Ady.

Yang melakukan bukan sembarang orang. Para kelaskaran hingga kelompok milisi, termasuk dari kalangan perkeretaapian menjadi pelaku utama. Laskar-laskar ini terbentuk dari ikatan emosional yang kuat, mulai dari satu kampung, satu sekolah, hingga mereka yang seprofesi.

Slogan-slogan seperti "Indonesia for Indonesians" atau bangsa Indonesia untuk rakyat Indonesia bukan hanya ditujukan ke rakyat. Pesan-pesan itu sengaja diarahkan ke para tentara asing, seperti pasukan sekutu yang datang ke Surabaya.

"Pesan itu bukan cuma buat rakyat Indonesia, tapi juga untuk asing. Ada veteran Inggris keturunan India, PRS Mani, yang dalam bukunya menulis dia membaca slogan, ada pula slogan dalam bahasa India yang artinya kemerdekaan atau pertumpahan darah," ujar Ady.

"Jadi pesan-pesan itu nggak selalu ditujukan untuk rakyat, tetapi justru malah sebagian besar untuk orang asing. Dia (PRS Mani) bilang, 'Saya merinding melihat itu'," ungkap Ady.

Ady juga menyebut, ada aksi bendera yang mengundang ketegangan bahkan terjadi sebelum insiden terkenal perobekan bendera di Hotel Yamato. Salah satunya di kantor gubernuran Jawa Timur, yang waktu itu berseberangan langsung dengan markas Kempeitai, polisi militer Jepang paling kejam.

"Pelajar-pelajar Surabaya saling menantang. 'Kon wani, ngibarno Merah Putih nang kono?'. Tantangan itu disanggupi. Mereka benar-benar mengibarkan bendera di sana, padahal itu dekat markas militer Jepang di Tugu Pahlawan," katanya.

Yang mengejutkan, tentara Jepang ternyata tidak bereaksi keras. Masa itu memang periode abu-abu, masa transisi kekuasaan antara Jepang yang menyerah dan Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan.

"(Respon tentatara Jepang) semuanya kaget ya. Tapi Jepang sendiri ternyata membiarkan. (Fungsi gubernuran saat itu sebagai kantor pemerintahan), masa peralihan ya itu," lanjut Ady.

Semangat kemerdekaan di Surabaya saat itu juga masih euforia, bukan persiapan perang. Menurut Ady, bahkan para intelektual pun tak menyangka konflik bersenjata akan terjadi.

"Saya pernah wawancara veteran, Pak Aryo Kece, yang saat itu mahasiswa kedokteran. Saat itu (tidak menduga perang) Belanda udah lama jauh, kebelakang udah jauh ditendang dari Indonesia kan sama Jepang. Jepang pun sudah kalah, dan sudah Indonesia kembali ke tangan Indonesia. Kita sudah membangun pemerintahan, terus punya presiden, wakil," ucapnya.

Bahkan menurutnya, Presiden Soekarno pun saat itu berharap diplomasi dapat menjadi solusi untuk mencegah pertumpahan darah.

"Bahkan sampai karena saking gak menduganya perang ya, Soekarno suka berharap semuanya lewat diplomasi. Coba cek, kabinet pertamanya Soekarno, gak ada. Kementerian perang itu gak ada, angkatan perang itu tidak ada," bebernya.

Tapi sejarah berkata lain. Surabaya justru menjadi medan tempur Indonesia pascakemerdekaan, salah satu yang terkenang dengan peristiwa heroik 10 November 1945.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads