Nama perempuan asal Madura, Tidjah mungkin selama ini jarang disebut dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Ia dikenal karena perannya mendukung pasukan Belanda selama agresi militer di akhir 1940-an.
Tak hanya terlibat, Tidjah bahkan mendapat medali kehormatan dari Kerajaan Belanda. Medali Kruis van Verdienste, yakni bintang perunggu untuk kesetiaan dan jasa.
Penghargaan itu diberikan karena peran Tidjah yang saat itu tergabung dalam Barisan Tjakra, sebuah satuan bentukan Belanda di Surabaya sekitar tahun 1946.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beranggotakan sekitar 440 orang yang sebagian besar berisi laki-laki asal Madura barisan ini dirancang untuk mendukung operasi militer Belanda di sejumlah wilayah, termasuk Madura sendiri.
Pegiat sejarah dari Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo menerangkan bahwa Tidjah tak ikut bertempur di garis depan, namun ia tetap punya peran vital di medan perang. Dia bertugas menyuplai amunisi untuk pasukan Belanda.
"Dia bukan barisan inti ya, tapi dia supporting. Itulah kemudian dia mendapat penghargaan-penghargaan dari Belanda. Dia ada di pihak Belanda," kata Kuncar kepada detikJatim, Sabtu (16/8/2025).
Meski ada di pihak Belanda, apa yang dilakukan Tidjah maupun anggota Barisan Tjakra lainnya tidak serta merta bisa dinilai sebagai pengkhianatan terhadap bangsa.
"(Perannya) sampai tahun 1948-1949, dia ikut di semua pertempuran. Di 2 agresi itu dia ikut. Termasuk kan gini, pas 1946 kan, apalagi 1948 ya, wilayah Indonesia kan hanya Jawa. Hanya Jawa tengah bagian selatan dan Jawa timur bagian selatan. Hanya itu lah, wilayah-wilayah yang dikuasai sama Belanda itulah. Tidak semuanya orang bule, jadi banyak orang-orang pribumi," ujarnya.
Menurut Kuncar, keterlibatan orang Madura dalam pasukan bentukan Belanda juga bukan merupakan hal yang baru.
"Karena sejak sebelum era Jepang datang, banyak tokoh-tokoh Madura juga, banyak tentara bayaran dari Madura yang terlibat di upaya-upaya pengendalian keamanan," jelasnya.
Kuncar pun kemudian mencontohkan, dalam sejarah kolonial, keterlibatan pasukan dari berbagai wilayah Nusantara dalam konflik-konflik yang didalangi kekuatan luar sudah menjadi hal biasa. Dari Ambon, Minahasa, hingga Solo, semua punya sejarah menjadi bagian dari kekuatan perang asing.
"Termasuk peristiwa penyerbuan Aceh, penaklukan Aceh, itu juga datang dari banyak daerah," imbuhnya.
Kuncar menegaskan, keterlibatan Tidjah dan rekan-rekannya dalam Barisan Tjakra bisa jadi didorong oleh motif ekonomi daripada sikap politik.
"Sebenarnya tidak terkait dengan nasionalisme ya. Dia hanya tentara bayaran, jadi tentara profesional yang diundang untuk bertempur dan mendapatkan uang. Gitu. Itu urusan ekonomi lah ya," tegasnya.
Hal ini, menurutnya bukan hanya terjadi di Indonesia. Fenomena serupa juga terjadi di berbagai penjuru dunia. Inggris misalnya, kala itu memakai pasukan Gurkha dari Nepal untuk operasi militernya. Maka dalam konteks itu, Tidjah bukan sosok yang bisa dengan mudah dihakimi pendukung kolonial.
"Jadi apakah ini terkait dengan nasionalisme, saya pikir tidak lah. Dia terikat secara profesional sebagai tentara bayaran, kalau dia kan tidak pada level sikap tentang nasionalisme, itu urusan kemiskinan gitu. Itu memang dilatih," ungkap Kuncar.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) di tahun 1949 dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, nasib Tidjah dan para anggota Barisan Tjakra mendapat pengampunan sebagai bagian dari kebijakan rekonsiliasi nasional.
"Salah satu konsekuensi dari Konferensi Meja Bundar tahun 1949 adalah pengampunan. Jadi orang Belanda juga kita lepaskan, diberi amnesti, orang-orang kita (Indonesia) yang mendukung Belanda juga dilepaskan," tutur Kuncar.
Hal itu mungkin berbeda dengan tentara KNIL dari Ambon yang dalam jumlah ribuan memilih migrasi ke Belanda.
"Tergantung pilihan politik, meskipun kemudian ketika perang selesai, dia minta suaka. Akhirnya dia mendapatkan suaka dari Belanda dan berbodong-bodong para perwira, prajurit KNIL itu pindah, pindah ke Belanda sampai hari ini," pungkas Kuncar.
(dpe/abq)