Rentetan Momen Usai Proklamasi hingga Surabaya Dibanjiri Merah Putih

80 Tahun Indonesia Merdeka

Rentetan Momen Usai Proklamasi hingga Surabaya Dibanjiri Merah Putih

Esti Widiyana - detikJatim
Sabtu, 16 Agu 2025 16:15 WIB
Pekerja memanggul umbul-umbul yang telah dikemas di Kampung Bendera di Jalan Darmokali, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (2/8/2024). Kampung Bendera merupakan salah satu lokasi penjualan bendera Merah Putih, umbul-umbul dan berbagai aksesoris lainnya di Surabaya yang bisa dibeli oleh masyarakat menjelang HUT ke-79 Kemerdekaan RI. ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.
Ilustrasi Kampung Bendera Surabaya. Di masa setelah Proklamasi, Kota Surabaya pernah dibanjiri Bendera Merah Putih seperti ini. Termasuk becak dihias dengan Bendera Merah Putih mini. (Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
Jakarta -

Surabaya jadi salah satu kota penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Rentetan peristiwa mulai 17 Agustus 1945 menunjukkan bagaimana semangat rakyat Kota Pahlawan terus berkobar sejak adanya kabar yang disampaikan diam-diam hingga pengibaran bendera Merah Putih di seluruh kota.

Peneliti Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, Leiden, Adrian Perkasa memberikan penjelasan tentang rentetan sejarah kemerdekaan RI Surabaya.

Adrian menceritakan rentetan peristiwa sejak pembacaan Proklamasi pada 17 Agustus hingga pengibaran Bendera Merah Putih di hampir seluruh penjuru Kota Surabaya, termasuk becak-becak berhias bendera merah putih yang berkeliling kota sebagai bentuk euforia kemerdekaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rentetan Peristiwa di Surabaya Pascaproklamasi

Kabar tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan di Jakarta tanpa korban jiwa. Berita itu sampai di Surabaya lewat kabar dari mulut ke mulut tetapi tidak terjadi apa-apa. Sebab, berita hanya didengar secara diam-diam, tidak resmi, dan tidak serta-merta dipercaya.

"Baru pada malam harinya berita disampaikan langsung oleh teman-teman pemuda yang balik dari Jakarta hingga warga jadi paham dan dipercaya hampir seluruh warga kota. Ada yang menyelundupkan berita itu dari kantor berita Domei ke surat kabat Soeara Asia yang kemudian diketahui banyak wartawan termasuk Bung Tomo, Astute (Aziz), dan sebagainya," kata Adrian kepada detikJatim, Jumat (15/8/2025).

ADVERTISEMENT

Demi mengelabui tentara Jepang dan Belanda, berita kemerdekaan disiarkan lewat radio eks NIROM dalam Bahasa Madura pada 18 Agustus 1945. Sehari sebelumnya, karena Jepang merasa kalah, maka Jenderal Nagano memutuskan untuk membubarkan Peta dan Heiho di Jawa dan Bali.

"Pembubaran PETA (Pembela Tanah Air) Dai dan Gunungsari Surabaya membuat gusar anggotanya yang hampir semua pemuda, sehingga situasi memanas. Keadaan ini bisa dikatakan jadi bibit para pemuda melihat dan menilai lagi apakah keberadaan tentara Jepang di Surabaya perlu atau tidak," ujarnya.

Sehari berikutnya, pada 19 Agustus 1945, teks proklamasi disiarkan secara sembunyi-sembunyi. Bersamaan dengan itu, bendera Merah Putih dikibarkan di markas Polisi Istimewa Surabaya di Coen Boulevaard.

Sejumlah tokoh pemuda berkumpul di Markas Kaliasin yang dihadiri oleh Doel Arnowo, Ronokusumo, Hario Kecik dan lainnya. Pada saat itu datang serombongan pemuda yang melaporkan terjadi bentrokan dengan orang Belanda.

"Bentrokan, walau kecil menunjukkan kekukuhan kedua pihak untuk mempertahankan kedudukan masing-masing dan pemuda kita menunjukkan keberaniannya," katanya.

Publikasi Terang-terangan Soal Kemerdekaan

Baru pada 20 Agustus 1945 Soeara Asia mempublikasikan berita tentang Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus yang membuat banyak tokoh dan warga Surabaya berbahagia. Sebab, peristiwa Proklamasi 17 Agus sudah bisa dipastikan dan telah resmi disampaikan.

Beberapa waktu kemudian, koran ini menjelma menjadi Soeara Rakjat agar sesuai dengan gerakan pemuda dan rakyat yang semakin popular dan diterima secara luas.

Seiring pemberitaan itu, PETA secara keseluruhan dibubarkan Jepang. Keadaan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi cikal-bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pembentukan BKR di Surabaya didorong tokoh seperti Soedirman, diikuti Moetopo, Soengkono, dan Jonosewojo.

"Demikian pula Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya menyatakan bebas dari kekuasaan Jepang dan bendera Merah Putih berkibar di kantor Polisi Istimewa pimpinan M Yasin itu. Hari berikutnya persenjataan polisi dikuasai pihak Indonesia dan merupakan pengambilalihan senjata pertama oleh kalangan Indonesia," urainya.

Komite Nasional Indonesia Dibentuk di Surabaya

Selanjutnya, pada 28 Agustus 1945 Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Surabaya dibentuk sesuai permintaan Jakarta dan dipimpin oleh Doel Arnowo dengan sekretaris Roeslan Abdulgani, memimpin kurang lebih 31 orang. Termasuk Radjamin Nasution, Liem Thwan Tik, Dr Anka, dan sebagainya.

KNI mendukung pengibaran bendera merah putih pada instalasi Jepang yang dilakukan keesokan harinya. Selanjutnya diikuti dengan pembentukan banyak KNI Kampung di berbagai penjuru kota.

"Tersiar berita bahwa antara Inggris dan Belanda tercapai kesepakatan bahwa Inggris akan membantu Belanda untuk berkuasa kembali di Indonesia sehingga Belanda dapat leluasa membonceng Sekutu sebagai pelindungnya," bebernya.

Pengibaran Merah Putih di Semua Penjuru Kota

Pada tanggal 29 Agustus 1945 masyarakat di Surabaya mulai mengibarkan bendera merah putih. Sehari kemudian, 30 Agustus 1945, fenomena itu direspons Kepala Bagian Keamanan (Cianbuco) Jepang mengumumkan larangan warga Belanda dan Indo-Belanda mengibarkan bendera merah putih biru.

Padahal, biasanya, menjelang hari lahir Ratu Belanda pada 31 Agustus, masyarakat Belanda dan Indo-Belanda melakukan pengibaran Bendera Belanda untuk menghormati Sang Ratu.

Dominasi Bendera Merah Putih di Kota Pahlawan mulai terlihat pada 31 Agustus 1945 saat penguasa di Surabaya resmi meminta warga mengibarkan lambang negara itu sebagai tanda Indonesia telah merdeka.

Puncaknya upaya sporadis dan ad-hoc pengibaran Bendera Merah Putih itu terlihat pada 1 September 1945. Pada hari itulah para pengemudi becak berkeliling Kota Pahlawan mengibarkan Bendera Merah Putih dalam ukuran kecil di becak masing-masing.

"Untuk pertama kali seluruh kota banjir dengan bendera merah putih selama berhari-hari yang belum berani dilakukan di tempat lain di Indonesia karena masih ada larangan dari Kempetai," ujar Adrian.

"Di Gedung Karesidenan (sekarang kantor Gubernur Jawa Timur), bendera Jepang diturunkan dan diganti dengan Sang Saka Merah Putih. Ada yang menyebut rentetan kejadian ini sebagai Hari Bendera Indonesia (Indonesian Flag Day)," katanya.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads