Cerita Soerati Istri Pejuang Kapal 7 Provinsi yang Pernah Dibom Belanda

80 Tahun Indonesia Merdeka

Cerita Soerati Istri Pejuang Kapal 7 Provinsi yang Pernah Dibom Belanda

Aprilia Devi - detikJatim
Sabtu, 16 Agu 2025 15:45 WIB
Istri Pejuang Kemerdekaan yang Masih Hidup di Surabaya
Istri Pejuang Kemerdekaan yang Masih Hidup di Surabaya Foto: Istimewa
Surabaya -

Di sebuah gang sempit kawasan Kapasari, Kecamatan Genteng, Surabaya, tinggal seorang perempuan berusia 74 tahun bernama Soerati. Ia adalah istri almarhum Mas Rawan, perintis kemerdekaan sekaligus anggota TNI AL yang ikut berjuang melawan Belanda.

Kini Soerati hidup bersama seorang anak dan dua cucunya. Meski usianya tak lagi muda, ia masih tampak sehat. Ia menceritakan kisah suaminya, Mas Rawan, yang semasa hidup menjadi saksi sejarah perlawanan terhadap Belanda dari atas kapal perang De Zeven Provincien atau Kapal Tujuh Provinsi.

Saat itu, Mas Rawan bersama ratusan rekannya membelot menghadapi serangan Belanda. Akibatnya, kapal tersebut dibombardir dari udara oleh pesawat Dornier milik Belanda pada tahun 1933.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Di masa perang dulu, Pak Rawan itu kan ada di Kapal Tujuh terus kapal itu kan dibom pasukan tentara Belanda," tutur Soerati, Sabtu (16/8/2025).

Sejumlah awak kapal gugur, namun Mas Rawan berhasil selamat. Meski demikian, ia kemudian ditangkap dan diasingkan ke penjara Pulau Digoel selama dua tahun delapan bulan. Di sana, ia bertemu dengan beberapa tokoh pergerakan nasional.

ADVERTISEMENT

"Kalau tidak salah ada beberapa kawan bapak yang meninggal karena bom itu. Yang selamat seperti bapak, itu dipenjarakan oleh Belanda," imbuhnya.

Setelah bebas, Mas Rawan kembali ke Jawa, tepatnya ke Surabaya. Pada 1976 ia bertemu Soerati. Keduanya yang sama-sama berasal dari Purworejo, Jawa Tengah, akhirnya menikah dan dikaruniai seorang anak.

Soerati mengenang sosok suaminya sebagai pria gagah, tinggi hampir 2 meter, berkulit kuning langsat, dan kerap dipanggil "Meneer" oleh rekan-rekannya.

"Orang lain dan teman-temannya bapak itu bahkan manggil bapak itu 'Meneer'. Kalau ibu-ibu kampung di sini, panggil saya mama, aku dikira keturunan Chinese," ungkap Soerati.

Setelah kemerdekaan, Mas Rawan menolak tawaran pemerintah untuk kembali menjadi prajurit TNI AL. Ia memilih hidup sebagai warga sipil dan membangun usaha toko bangunan di Surabaya, sekaligus membantu masyarakat.

"Saya ingat betul ketika Mas Rawan menolak tawaran negara untuk jadi prajurit TNI AL. Dia bilang diam-diam ke saya, entah itu merayu atau serius, dia ingin menata hidup kami sekeluarga, menjadi pengusaha dan membantu banyak orang," kenang Soerati.

Keputusan itu terbukti membawa hasil. Mas Rawan sukses berbisnis, membantu banyak orang, bahkan mengangkat seorang anak asuh yang kemudian sukses menjadi Kepala Kejaksaan di Cilacap.

Di sisi lain, Joko Sasongko, anak kandung Mas Rawan dan Soerati, mengaku bangga terhadap perjuangan ayahnya. Menurutnya, sang ayah adalah figur disiplin sekaligus nasionalis sejati.

"Bapak kalau A ya harus A, kalau B ya harus B," kata Joko, yang kini juga telah menjadi ayah dari dua anak.

Ada satu momen yang tak pernah ia lupakan, yakni saat ulang tahunnya ke-7 yang bertepatan dengan wafatnya sang ayah di rumah sakit.

"Bapak bilang 'Joko hari ini tidak tiup lilin dulu ya, tiup lilin saat ulang tahun itu budayanya Belanda, kamu harus jadi orang baik'," kenangnya.

Kini, rumah sederhana tempat Soerati tinggal menjadi saksi bisu perjuangan sang suami. Di dinding rumah tergantung foto-foto tua Mas Rawan saat muda, potret kapal De Zeven Provincien, hingga momen kebersamaan keluarga.

Melalui cerita dan dokumentasi yang tersimpan, keluarga ini berharap generasi muda tidak melupakan sejarah dan terus menjaga kemerdekaan.




(ihc/ihc)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads