Raden Mas Tumenggung (RMT) Ario Soerjo atau Gubernur Soerjo dikenal sebagai pemimpin tegas sekaligus dekat dengan rakyat. Usai Proklamasi 17 Agustus 1945, ia dipercaya menjadi gubernur pertama Jawa Timur dan tampil di garis depan perjuangan menghadapi ancaman pasukan Sekutu.
Pidatonya yang membakar semangat perlawanan menjadi salah satu tonggak penting Pertempuran Surabaya. Inilah profil Gubernur Suryo yang berperan besar dalam sejarah Jawa Timur pasca kemerdekaan dan berakhir dengan kisah tragis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjalanan Hidup
RMT Ario Soerjo lahir di Magetan pada 9 Juli 1898 dari pasangan Raden Mas Wiryosumarto dan Raden Ayu Kustiah. Sebelum menjadi gubernur, ia menjabat Bupati Magetan (1938-1943) dan Residen Bojonegoro. Pengalaman panjang di pemerintahan membuatnya dipercaya menjadi Gubernur Jawa Timur pada 1945-1948.
Ketegasan Soerjo menonjol saat menghadapi ultimatum pasukan Inggris. Pada 26 Oktober 1945, ia sempat menggelar gencatan senjata dengan Brigjen Mallaby, meski pertempuran kembali pecah pada 28-30 Oktober.
Pada 9 November 1945 pukul 23.00 WIB, Soerjo menyampaikan pidato melalui Radio RRI: "Lebih baik hancur daripada dijajah kembali, kita tolak ultimatum Inggris." Pernyataan ini menjadi "komando keramat" yang membakar semangat rakyat dan memicu perlawanan besar dalam Pertempuran 10 November.
Akhir Tragis
Usai menjabat gubernur, Presiden Soekarno mengangkat Soerjo menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 1947. Namun, pada 1948, ia tewas dalam insiden politik yang melibatkan gerakan PKI.
Soerjo dibunuh di Hutan Sonde, Kedunggalar, Ngawi, dan jenazahnya ditemukan di tepi Kali Klakah, Desa Bangunrejo Lor. Untuk mengenang jasanya, pemerintah mendirikan Monumen Suryo.
Monumen tersebut berada di lokasi tak jauh dari tempat pembunuhan tersebut. Monumen ini menjadi simbol penghormatan atas pengorbanan Gubernur Suryo dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
(auh/irb)