Kebijakan pemerintah daerah (Pemda) menaikkan Pajak Bumi Bangunan (PBB) secara ugal-ugalan hingga 250% seperti yang diteken Bupati Pati Sudewo, atau mencapai 1.202% seperti yang diterapkan di Jombang, diduga buntut efisensi anggaran pemerintah pusat. Tapi istana membantahnya.
Seperti diketahui, kebijakan Bupati Sudewo menaikkan PBB bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) sebesar 250% ditolak warga Pati. Setelah gejolak terjadi, Sudewo membatalkan kebijakan itu pada Jumat 8 Agustus 2025.
Meski sudah dibatalkan, masyarakat yang keburu geram dengan Sudewo berunjuk rasa besar-besaran untuk menuntut agar Sudewo mundur dari jabatannya sebagai bupati.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara di Jombang, kenaikan PBB P2 untuk sebagian warga pemilik nomor objek pajak tanah dan bangunan sudah mengalami kenaikan sejak 2024. Kenaikannya lebih ugal-ugalan dari yang telah diteken Bupati Sudewo, ada yang mencapai 1.202%.
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi buka suara membantah dugaan bahwa pemicu kebijakan menggenjot PBB ini imbas dari kebijakan efisiensi pemerintah pusat.
Menurutnya, kewenangan penentuan PBB memang diberikan kepada daerah. PBB P2 menurutnya mencakup rumah, gedung, tanah, di luar tambang, perkebunan, dan lain-lain di tiap daerah.
Dia sebutkan, dalam penentuan PBB seharusnya pemerintah daerah sudah berkoordinasi dengan DPRD di daerahnya. Begitu juga di Pati, keputusan kenaikan PBB pasti sudah disepakati dengan DPRD.
"Ini memang kewenangan dari pemerintah daerah. Biasanya mereka juga membuat ini berdasarkan Perda. Kalau berdasarkan Perda itu kan Bupati bersepakat memutuskan ini dengan DPRD. Kan begitu. Jadi elected office di sana yang sudah berunding," kata Nasbi dilansir dari detikFinance, Kamis (14/8/2025).
"Makanya itu yang saya bilang bahwa kebijakan ini kebijakan daerah. Dan kalau ada kejadian seperti di Pati, itu murni dinamika lokal," lanjutnya.
Dia juga menyebutkan bahwa penerapan PBB bagi daerah pun sebetulnya sudah lama dilakukan dan bukan barang baru. Sebelumnya pada 2023 dan 2024 sudah cukup banyak daerah yang melakukan penyesuaian PBB.
"Bahkan kebijakan-kebijakan soal tarif PBB ini ada yang sudah dari tahun 2023, tahun 2024. Yang tahun 2025 mereka ada juga yang baru menjalankan," sebut Hasan.
Di tengah kisruh PBB itu, muncul anggapan sejumlah daerah bukan cuma Pati secara bersamaan menaikkan tarif PBB. Beberapa pihak khawatir ini menjadi jalan pintas bagi pemerintah daerah untuk mendapatkan pendapatan pasca-kebijakan efisiensi transfer ke daerah dari pemerintah.
Menurut Hasan, tuduhan itu sangat prematur. Dia mengatakan efisiensi yang dilakukan selama ini cuma sekitar 4-5% saja dari total anggaran daerah.
"Jadi ini tidak bisa kemudian langsung dengan tuduhan prematur seperti itu. Jangan dihubung-hubungkan dengan kebijakan pemerintah pusat soal efisiensi," kata Hasan.
"Karena sebenarnya efisiensi ini hanya mungkin 4-5% saja. Dari anggaran yang biasa dikelola oleh pemerintah daerah. Kira-kira seperti itu," pungkasnya.
Artikel ini sudah tayang di detikFinance. Baca selengkapnya di sini.
(dpe/hil)