Ketua Fraksi Partai Demokrat DPRD Jatim, dr Agung Mulyono menyatakan dukungan penuh terhadap Surat Edaran (SE) Bersama yang diterbitkan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa bersama Kapolda Jatim dan Pangdam V/Brawijaya terkait pembatasan penggunaan sound horeg. Kebijakan itu dinilai bukan sekadar menjaga ketertiban umum tetapi juga melindungi kesehatan pendengaran masyarakat.
"Sebagai dokter, saya sangat mengapresiasi langkah ini. Paparan suara yang terlalu keras dalam waktu lama bisa menyebabkan gangguan pendengaran permanen atau Noise-Induced Hearing Loss (NIHL). Ini bukan ancaman sepele," kata Agung saat dikonfirmasi detikJatim, Senin (11/8/2025).
Bendahara DPD Demokrat Jatim itu mengingatkan berdasarkan standar WHO dan Kementerian Kesehatan, paparan suara di atas 85 dB selama lebih dari 8 jam per hari bisa merusak sel-sel rambut halus pada koklea di telinga dalam yang berfungsi mengirim sinyal suara ke otak. Kerusakan ini bersifat permanen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk suara yang mencapai 120 dBA, kerusakan bisa terjadi bahkan hanya dalam hitungan menit. Selain gangguan pendengaran, kebisingan ekstrem dapat memicu stres, gangguan tidur, tekanan darah tinggi, hingga risiko penyakit jantung," jelasnya.
Anggota DPRD Jatim Dapil Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo itu menambahkan kebiasaan sebagian masyarakat mendengar sound horeg dengan volume berlebihan tanpa memperhatikan waktu dan lokasi berpotensi meningkatkan kasus tinnitus (denging di telinga) dan hiperakusis (sensitivitas berlebih terhadap suara).
Karena itu, Dokter Agung mengajak semua pihak untuk mematuhi aturan ini demi terciptanya lingkungan yang tertib, kondusif, dan sehat.
"Kita bukan melarang hiburan atau kegiatan budaya, tetapi mengatur agar tidak menimbulkan dampak negatif, baik secara sosial maupun medis," tegasnya.
Aturan soal sound horeg di Jawa Timur akhirnya resmi ditetapkan. Aturan itu ditetapkan dalam SE Bersama Nomor 300.1/ 6902/209.5/2025, Nomor SE/ 1/VIII/ 2025 dan Nomor SE/10/VIII/ 2025 tanggal 6 Agustus 2025 tentang penggunaan sound system/pengeras suara di wilayah Jawa Timur.
Kedua aturan itu diterbitkan untuk menjadi pedoman bersama dengan tujuan agar penggunaan sound system di masyarakat tidak melanggar norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum.
SE ini ditandatangani oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nanang Avianto, dan Pangdam V Brawijaya Mayjend TNI Rudy Saladin.
Dalam SE Bersama ini, termuat aturan batasan tingkat kebisingan penggunaan sound system/pengeras suara di lingkungan masyarakat, dimensi kendaraan yang mengangkut sound system lalu batasan waktu, tempat dan rute yang dilewati sound system dan yang terakhir terkait penggunaan sound system untuk kegiatan sosial masyarakat.
Pertama, untuk tingkat kebisingan. Dalam SE Bersama memberikan batasan antara penggunaan sound system statis dan yang bergerak. Untuk yang statis misalnya pada kegiatan kenegaraan, pertunjukan musik, seni budaya pada ruang terbuka dan tertutup dibatasi maksimal intensitas suara yang dihasilkan adalah 120 dBA.
Sedangkan untuk penggunaan sound system untuk karnaval, unjuk rasa, penyampaikan pendapat di muka umum secara non statis atau berpindah tempat maka dibatasi maksimal adalah 85 dBA.
Selanjutnya, untuk kendaraan pengangkut sound system pada kegiatan kenegaraan, pertunjukan musik, seni budaya pada ruang terbuka baik statis maupun bergerak harus sesuai dengan Uji Kelayakan Kendaraan (Kir).
Tidak hanya itu, SE Bersama ini juga mengatur tentang batasan waktu penggunaan sound system non statis atau yang berpindah tempat. Mereka wajib mematikan pengeras suara saat melintasi tempat ibadah saat dilaksanakan peribadatan, saat melintasi rumah sakit, ketika ada ambulan yang mengangkut orang sakit dan saat ada kegiatan pembelajaran di lingkungan pendidikan.
Selain itu, SE Bersama juga mengatur penggunaan sound system untuk kegiatan sosial masyarakat. SE Bersama ini tegas melarang penggunaan sound system untuk kegiatan yang melanggar norma agama, norma kesusilaan dan norma hukum.
Termasuk melarang adanya minuman keras, narkotika, pornoaksi, pornografi dan membawa senjata tajam dan barang terlarang lainnya dalam kegiatan yang menggunakan sound system. Penggunaan sound system harus menjaga ketertiban, kerukunan, tidak menimbulkan konflik sosial dan tidak merusak lingkungan dan fasilitas umum.
Untuk itu, setiap kegiatan penggunaan sound system harus mengurus perizinan. Setiap penyelenggara kegiatan yang berpotensi mengganggu ketertiban umum yang termasuk penggunaan sound system wajib mendapatkan izin keramaian dari kepolisian.
Perizinan yang dimaksud termasuk membuat surat pernyataan kesanggupan bertanggung jawab apabila ada korban jiwa, materiil, kerusakan fasum dan property masyarakat. Pernyataan ini wajib dibuat dan ditandatangani di atas materai.
Dan jika ada praktik penyalahgunaan narkotika, minuman keras, pornografi, pornoaksi, anarkisme, tawuran maupun aksi yang memicu konflik sosial, maka kegiatan akan dihentikan dan atau dilakukan Tindakan lain oleh kepolisian dan penyelenggara wajib bertanggung jawab sesuai aturan perundangan yang berlaku.
"Dalam aturan SE Bersama ini semua sangat detail dan rigid. Kami berharap acuan ini menjadi perhatian bersama. Kegiatan menggunakan pengeras suara tetap dibolehkan dengan penegakan batasan dan aturan yang telah dirumuskan bersama," kata Khofifah.
"Mari bersama mewujudkan Jawa Timur yang aman dan kondusif," pungkas Khofifah.
(dpe/abq)