Penggunaan sound horeg resmi diatur di wilayah Jawa Timur. Mulai dari batas suara hingga kendaraan yang mengangkut. Kebijakan ini dinilai belum mengacu data maupun fakta di lapangan.
Pengamat kebijakan publik, Dr Alie Zainal mengkritisi Surat Edaran Bersama yang diterbitkan Gubernur Jatim, Kapolda Jatim, dan Pangdam V/Brawijaya terkait pengaturan penggunaan sound system atau pengeras suara.
Menurut Alie kebijakan itu tidak berlandaskan pada prinsip evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti maupun data yang dirasakan oleh masyarakat di Jawa Timur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Surat Edaran ini tidak menjadikan data dan fakta kejadian yang dialami masyarakat sebagai dasar pengambilan kebijakan. Misalnya, soal ambang batas kebisingan yang dibolehkan hingga 120 desibel. Padahal batas aman seharusnya hanya 80 desibel," kata Alie Zainal kepada detikJatim, Senin (11/8/2025).
Alie juga menyoroti efisiensi dari isi SE Bersama Nomor 300.1/6902/209.5/2025, Nomor SE/1/VIII/2025, dan Nomor SE/10/VIII/2025 tanggal 6 Agustus 2025 tentang penggunaan sound system/pengeras suara di wilayah Jawa Timur, itu.
Menurut Alie, sejumlah poin seperti kewajiban uji KIR kendaraan, larangan penggunaan narkoba, hingga kewajiban izin keramaian, sudah tertuang dalam regulasi yang telah ada sebelumnya.
"Kalau hanya untuk mengingatkan, tidak masalah. Tapi harus diakui, ini jadi tidak efisien jika hanya mengulang peraturan yang sudah berlaku tanpa pendekatan baru," jelasnya.
Alie juga mempertanyakan efektivitas surat edaran ini, jika tidak disertai pengawasan ketat dan sumber daya memadai. Dia pun mengingatkan potensi konflik horizontal tetap ada jika penegakan aturan tidak dilakukan secara langsung dan konsisten oleh aparat.
"Kalau pelanggaran tidak ditindak tegas di lapangan, ya percuma. Apakah aparat sudah siap dengan pengawasan langsung? Ini perlu dijawab," tambahnya.
Poin lain yang disoroti adalah soal pernyataan tanggung jawab dalam mekanisme perizinan kegiatan. Alie meminta kejelasan soal bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud jika terjadi korban jiwa akibat penggunaan sound system berlebihan.
"Apakah yang dimaksud hanya tanggung jawab pidana saja? Atau ada tanggung jawab perdata dan administratif? Dan bagaimana cara membuktikan hubungan sebab-akibat antara sound system dengan kematian? Ini harus jelas," katanya.
Meski menyampaikan sejumlah catatan kritis, Alie Zainal mengapresiasi langkah yang diambil Forkopimda Jatim dalam upaya menjaga keseimbangan antara pelaku usaha hiburan dan masyarakat umum.
"Saya melihat ini sebagai bentuk kompromi antara penggiat sound horeg dan masyarakat yang kontra. Pemerintah hadir, berupaya menjaga ketertiban, namun pelaksanaan di lapangan harus benar-benar dikawal," pungkasnya.
Sebelumnya, Forkopimda Jatim resmi memberlakukan aturan ketat penggunaan sound horeg yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Bersama yang ditandatangani Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Kapolda Jatim Irjen Nanang Avianto, dan Pangdam V/Brawijaya Mayjend TNI Rudy Saladin.
SE Bersama Nomor 300.1/6902/209.5/2025, Nomor SE/1/VIII/2025 dan Nomor SE/10/VIII/2025 tanggal 6 Agustus 2025 tentang penggunaan sound system/pengeras suara di wilayah Jawa Timur.
(dpe/abq)