Roblox saat ini menjadi sorotan setelah Mendikdasmen Abdul Mu'ti melarang anak-anak bermain game itu. Roblox disebut menampilkan berbagai adegan kekerasan.
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Timur Isa Anshori menilai fenomena ini perlu ditanggapi serius. Namun, tidak hanya dengan pelarangan, tetapi lewat pendekatan yang lebih sistematis.
Isa mengungkapkan, berdasarkan data yang dia terima, ada puluhan anak yang sempat dirawat di rumah sakit karena kecanduan gadget. Kondisi ini menunjukkan akses teknologi tanpa pengawasan orang dewasa bisa berdampak serius terhadap kondisi psikologis anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Teknologi itu kan ibarat dua sisi mata uang. Artinya dia akan jadi baik kalau digunakan dengan baik, dan jadi tidak baik kalau tidak ada kontrol orang tua, anak-anak tidak ada pendampingan," ujar Isa saat dihubungi detikJatim, Jumat (8/8/2025).
Roblox sendiri, kata Isa, memang cukup digandrungi anak-anak. Tetapi masalahnya, tidak semua orang tua maupun guru sebagai pendamping anak memahami isi dari permainan itu. Termasuk konten-konten yang mengandung unsur kekerasan atau manipulasi psikologis.
"Kalau anak-anak bermain dengan kebebasannya sendiri tanpa ada pengawasan orang tua. Ini tentu akan berdampak tidak baik," tambahnya.
LPA Jatim sendiri mencatat bahwa bentuk kekerasan yang dilakukan anak kini semakin beragam. Tidak lagi sekadar bertengkar atau saling memukul, tapi sudah dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat dan mainkan.
"Kalau dulu anak itu bertengkar, mukul karena emosi. Tapi sekarang cara melakukannya berbeda, karena dia mendapatkan contoh dari apa yang dia lihat. Di game itu kan ada instruksi, dan anak-anak cenderung menganggap itu perintah yang harus dijalankan," tegas Isa.
Melihat kompleksitas ini, Isa menyampaikan bahwa pelarangan semata tak cukup. Ia menyarankan 3 pendekatan dalam menangani fenomena game online seperti Roblox. Pertama substitusi, yakni mengganti permainan yang dianggap bermasalah dengan alternatif lain yang lebih aman dan edukatif.
"Tapi pertanyaannya, ada nggak permainan tradisional yang sudah terdigitalisasi? Ini tantangan bagi kawan-kawan perguruan tinggi untuk membuat aplikasi," ujarnya.
Selanjutnya adalah komplementasi atau menyediakan jenis permainan serupa, namun mengandung nilai-nilai pendidikan karakter yang kuat.
"Misalkan game itu kan bisa dimainkan bersama, ada kompetisi, ada gotong royong, ada kolaborasi," bebernya.
Ketiga sublimasi, yakni tetap menggunakan game tersebut, namun dengan pendampingan orang dewasa dan penanaman nilai-nilai seperti kolaborasi, gotong royong, dan sportivitas. Hal ini dinilai jadi langkah yang dapat dilakukan.
"Permainannya tetap itu, tetapi ada pendampingan yang betul-betul dilakukan oleh orang dewasa. Kalau orang dewasa mampu memahami itu, maka bisa menjadi nilai tambah dari permainan tersebut," jelas Isa.
Tak hanya peran orang tua, Isa menekankan pentingnya peran sekolah dan dinas pendidikan untuk menciptakan ruang edukatif di dunia digital.
Ia juga mengusulkan agar game online tidak langsung dipandang negatif, tapi dilihat dari potensi nilai yang bisa ditanamkan melalui sistem dan pengawasan yang tepat.
"Perlu ada ruang. Dinas pendidikan harus memberi ruang bagi berkembangnya permainan itu, tapi dengan nilai-nilai yang sudah diisi," katanya.
Isa juga mengingatkan bahwa larangan tanpa edukasi justru bisa membuat anak makin penasaran. Karena itu, ia berharap ada sinergi antara orang tua, sekolah, dan pihak lain seperti pengembang aplikasi lokal untuk menciptakan game yang sesuai dengan nilai-nilai pendidikan Indonesia.
"Saya pikir sebetulnya perlu itu jangan dilihat game online saja, tapi ada nilai yang mau ditanamkan di sana, nilai pendampingan, kemudian meminimalisir dampak (negatif) dan sebagainya," pungkasnya.
(dpe/hil)