Pertanyaan mengenai boleh tidaknya ahli waris menempati rumah warisan kerap muncul dalam proses pembagian harta peninggalan. Dalam hukum perdata di Indonesia, menempati rumah warisan diperkenankan, asalkan seluruh ahli waris setuju secara tertulis dan dituangkan dalam Surat Kesepakatan Waris.
Kesepakatan ini menjadi landasan hukum untuk menghindari konflik ketika rumah akan dijual, disewakan, atau dialihkan kepemilikannya. Tanpa persetujuan bersama, tindakan atas rumah warisan berpotensi memicu sengketa hingga berujung ke meja hijau.
Dilansir dari detikProperti, dalam hukum perdata, hak dan kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan diatur secara tegas. Menurut Pengacara sekaligus Pakar Hukum Properti Muhammad Rizal Siregar, sistem hukum Islam menetapkan bahwa laki-laki menerima dua bagian dan perempuan menerima satu bagian dari warisan, sedangkan hukum perdata lebih menitikberatkan pada kesepakatan di antara para ahli waris.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila seluruh ahli waris telah mencapai kata sepakat, maka pembagian harta warisan perlu dituangkan secara tertulis melalui Surat Kesepakatan Waris yang ditandatangani semua pihak. Surat ini menjadi dasar dalam pengelolaan harta, termasuk rumah warisan.
Dalam praktiknya, seorang ahli waris yang ingin tinggal di rumah warisan tetap diperbolehkan, sepanjang seluruh ahli waris menyetujuinya. Kemungkinan lain yang bisa ditempuh ialah tinggal dengan membayar sewa. Besaran sewa dapat dinegosiasikan dan ditetapkan sesuai musyawarah.
"Dapat juga melakukan pengurangan harga sewa. Sehingga uang sewa tersebut dibagi kepada seluruh ahli waris sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian seluruh ahli waris," jelas Rizal kepada detikProperti.
Pada prinsipnya, segala bentuk penjualan, penyewaan, atau pembelian aset warisan yang belum dibagi harus mendapat persetujuan bersama seluruh ahli waris. Langkah ini penting untuk menghindari perselisihan yang berpotensi berujung ke pengadilan, yang prosesnya cenderung lebih rumit dan menyita waktu.
Sementara itu, Rizky Rahmawati Pasaribu dari kantor hukum Amali & Associates menjelaskan bahwa hukum waris di Indonesia menganut sistem pluralisme. Terdapat tiga pilihan hukum yang dapat digunakan dalam penyelesaian warisan, yaitu Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Islam, dan Hukum Waris Adat.
Pemilihan hukum ini sekaligus menentukan kewenangan pengadilan yang akan memeriksa perkara. Pengadilan Negeri jika tunduk pada hukum perdata atau adat, serta Pengadilan Agama jika menggunakan hukum waris Islam.
Apabila para ahli waris telah sepakat mengenai pembagian warisan, maka dibuatlah kesepakatan tertulis berupa Surat Kesepakatan Waris. Dalam hal ada ahli waris yang ingin mempertahankan rumah warisan, terdapat mekanisme untuk membelinya dari ahli waris lain.
"Apabila kemudian salah satu ahli waris hendak mempertahankan rumah warisan tersebut, maka dapat saja Adik membayar harga rumah tersebut untuk dimiliki oleh dia, kemudian uang tersebut dibagi kepada seluruh ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing," kata Rizky Rahmawati.
"Jadi Adik membeli rumah tersebut dari seluruh Ahli Waris dengan dikurangi besarnya bagian dia sendiri. Di mana penjualan dan pembelian terhadap suatu barang warisan yang belum dibagi harus disetujui oleh seluruh Ahli Waris," sambungnya.
Dengan demikian, baik menempati, menyewakan, menjual, maupun membeli rumah warisan harus dilakukan atas dasar persetujuan semua ahli waris agar terhindar dari konflik yang lebih panjang.
Baca artikel selengkapnya di sini.
(aau/irb)