Sebuah rumah kuno di kawasan Pecinan Kota Blitar rupanya masih bisa ditemui. Tak banyak yang tahu rumah itu berada di sekitar Jalan Merdeka Kota Blitar yang termasuk jalanan utama pusat perkotaan.
Rumah kuno berumur lebih dari 200 tahun itu tak terlihat dari pinggir jalan utama. Lokasi rumah itu tidak terlalu mencolok karena terhalang bangunan pertokoan.
Selain itu, pemilik rumah juga lebih memilih memasang pintu gerbang kecil sebagai pelindung rumah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
detikJatim mendatangi rumah kuno yang letaknya persis di pinggir jalan utama Jalan Merdeka Nomor 166 Kota Blitar.
Rumah ini berjarak 250 meter dari Klenteng Poo An Kiong. Gerbang rumah itu di tengah-tengah toko yang tidak lagi digunakan. Ukurannya minimalis terbuat dari besi yang dicat abu-abu.
Rumah itu ditempati Daniel dan keluarga yang merupakan generasi ke-6. Adapun rumah itu diwariskan secara turun temurun hingga saat ini masih tetap dihuni.
Daniel menyebutkan rumah itu memiliki arsitektur Jawa-Thionghoa. Itu karena bentuk atap rumahnya seperti joglo tapi dibalut arsitektur khas Thionghoa.
Misalnya pada bagian pintu dan bagian dalam rumah yang terdapat ornamen Thionghoa.
"Kami tidak bisa mengklaim rumah ini paling tua, tapi kalau usianya lebih dari 2 abad atau 200 tahun. Sejak saya kecil ya begini ini bentuk rumahnya," katanya kepada detikjatim, Minggu (3/8/2025).
Menurut Daniel, rumah itu memiliki luas sekitar 150 persegi. Bangunan rumah tak banyak yang berubah. Khususnya pada bagian depan, termasuk atap kayu dan dinding depan yang terbuat dari kayu.
Sementara bagian belakang rumah temboknya sudah diganti karena rusak akibat letusan Gunung Kelud pada 1991. Rumah yang sebelumnya hanya memakai tembok gedek (anyaman bambu) pun harus diganti total.
![]() |
"Kalau tembok masih utuh, kanan kiri. Depan masih pakai papan kayu tapi yang belakang dulu itu pakai anyaman bambu cuma karena rusak terkena dampak letusan Gunung Kelud makanya diganti. Selebihnya masih sama seperti dulu," terangnya.
Bagian pintu dan jendela rumah kuno itu tak berubah. Ornamen lukisan dewa penjaga di pintu utama dan kamar tetap seperti dahulu. Yang membedakan hanya catnya yang berganti.
Masing-masing pintu juga memiliki pengunci khas pintu-pintu zaman dahulu. Yakni pengunci dengan balok kayu besar yang saling dikaitkan.
Selain itu, di ruang tamu juga terdapat tiang kayu yang melekat pada atap. Empat tiang kayu itu berbentuk persegi dan memiliki ornamen ukiran tulisan Thionghoa.
"Ini juga masih ada ukiran di kayu penyangga, ibu saya juga ndak bisa bacanya. Tapi yang jelas ini juga sudah ada sejak dulu. Tidak diganti," katanya.
Menurut Daniel, keluarganya tidak pernah merenovasi rumah peninggalan nenek moyangnya itu. Hanya saja pengecatan sudah dilakukan beberapa kali untuk menepis kesan kotor dan gelap.
"Enggak ada yang berubah, hanya dicat beberapa kali kalau sudah kotor. Selebihnya tidak direnovasi," terangnya.
Di sisi kanan rumah terdapat bekas kamar mandi yang sudah tidak terpakai. Meski begitu, masih tampak bentuk kolam kamar mandi dan jamban. Bangunan itu tertutup lumut hijau tetapi tetap bersih.
Keluarga Daniel sengaja mempertahankan rumah tua itu. Bahkan pintu utama dan kamarnya berdiri kokoh. Interior lain seperti lemari, dan dipan penyimpanan juga masih tertata rapi.
"Kami memang belum berniat melakukan pemugaran rumah, sebisa mungkin akan pertahankan konstruksi rumah ini supaya nilai historisnya yang mahal tetap dipertahankan seperti ini," ujarnya.
(dpe/abq)