Penolakan Eko Mariyono terhadap penggunaan sound horeg dalam acara karnaval di Desa Kepung, Kecamatan Kepung, Kediri, bermula dari keresahannya atas dampak suara yang dianggap terlalu bising dan merugikan kesehatan.
Penolakannya sejak 2022 ini membuat dirinya mengalami intimidasi, teror, hingga ancaman baik secara langsung maupun melalui media sosial.
Berikut sederet fakta sikap Eko tolak sound horeg.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
5 Fakta Kasus Eko Tolak Sound Horeg
1. Alasan Eko Tolak Sound Horeg
Eko Mariyono secara konsisten menolak penyelenggaraan karnaval dengan sound horeg karena merasa terganggu oleh suara keras yang berdampak pada kesehatan dirinya dan keluarganya. Di rumahnya tinggal orang tua berusia 70 tahun yang rentan terhadap suara bising. Ia juga menilai sound horeg memberi pengaruh buruk bagi anak-anak di lingkungan sekitar.
"Banyak yang joget pakai pakaian tidak pantas. Euforianya berlebihan, bahkan bisa saja ada peredaran miras," kata Eko.
2. Awal Mula Intimidasi
Penolakan ini pertama kali Ia suarakan pada tahun 2022 saat menyampaikan protes kepada pemerintah desa setempat. Namun, tidak ada respons dari pihak pemerintah desa sehingga membuat Eko semakin vokal menolak. Setelah teguran terhadap sekelompok pemuda yang membawa sound besar pada malam takbiran 2023, ia justru menjadi korban pengeroyokan.
"Saya tegur, malah saya dikeroyok. Untung tidak kena," ujarnya.
3. Menggalang Petisi Online
Tak hanya melapor ke pihak kepolisian, pada Maret 2025 Eko mengirimkan surat penolakan ke Bupati Kediri, Polres Kediri, hingga Gubernur Jawa Timur. Karena hanya mendapat tanggapan normatif, ia bersama istrinya membuat petisi penolakan secara online. Petisi tersebut berhasil mendapatkan 800 tanda tangan dari masyarakat. Namun langkah itu justru membuat dirinya semakin ditekan oleh pihak pendukung sound horeg.
4. Intimidasi Diterima Langsung dan Lewat Sosial Media
Akibat petisi tersebut, foto Eko dan istrinya disebar oleh oknum yang menuduh mereka menghambat perizinan karnaval sound horeg di Kediri. Rumahnya bahkan dipetakan sebagai sasaran tekanan berikutnya. Puncaknya terjadi pada 26 Maret 2025 ketika sekelompok orang mengarahkan suara sound system langsung ke kediamannya.
"Kami sebenarnya mau mengungsi ke hotel, tapi orang tua saya takut rumah kosong," kata Eko.
5. Mendapat dukungan Publik
Seiring viralnya kasus Eko di media sosial, semakin banyak warga lainnya yang ikut bersuara menolak sound horeg karena merasa terganggu. Dugaan muncul bahwa petisi tersebut menjadi salah satu bahan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur dalam mengeluarkan fatwa haram terhadap sound horeg. Fatwa tersebut menyatakan bahwa sound horeg lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Kini, Eko berharap pemerintah provinsi segera mengeluarkan aturan tegas terkait pembatasan suara sound system dan penyelenggaraan karnaval dengan pengeras suara memekakkan telinga.
(dpe/Abq)