Keteguhan Eko Menolak Sound Horeg hingga Berujung Intimidasi

Round-Up

Keteguhan Eko Menolak Sound Horeg hingga Berujung Intimidasi

Denza Perdana - detikJatim
Minggu, 03 Agu 2025 07:40 WIB
Warga menyaksikan gelaran Urek Urek Carnival yang diiringi perangkat audio berkapasitas besar di Desa Urek-urek Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/7/2025). Karnaval dengan iringan-iringan audio kapasitas besar tersebut diselenggarakan tiap tahun saat momentum selamatan desa atau setelahnya dalam rangka memeriahkan bersih desa yang diperingati pada bulan Suro pada penanggalan Jawa. ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nym.
Ilustrasi sound horeg. (Foto: ANTARA FOTO /Irfan Sumanjaya)
Kediri -

Eko Mariyono, warga Desa Kepung, Kecamatan Kepung, Kediri konsisten menolak karnaval dengan sound horeg di desanya. Atas sikapnya, dia mengaku diintimidasi warga lain.

Dia dan keluarganya teguh menolak karnaval dengan sound horeg karena merasa dirugikan dengan suara yang terlalu keras, yang berdampak pada kesehatan.

Selain itu, alasan lainnya karena di rumahnya ada orang tua berusia 70 tahun, dan dia menganggap karnaval itu berdampak buruk bagi moralitas anak-anak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Banyak yang joget pakai pakaian tidak pantas. Euforianya berlebihan, bahkan bisa saja ada peredaran miras," kata Eko, Jumat (1/8).

Karena sikap itulah dia mendapatkan teror secara langsung. Dia ceritakan bahwa semua bermula pada 2022 saat dirinya memprotes penyelenggaraan karnaval itu.

ADVERTISEMENT

Saat itu Eko telah menyampaikan keresahannya kepada pihak pemerintah desa tempat dirinya tinggal namun tidak mendapatkan tanggapan. Setelah protes itu dia justru diintimidasi.

"Tahun 2022 saya protes ke desa, tapi tidak ada respons. Lalu 2023 saat malam takbir Idul Fitri ada segerombolan anak muda bawa sound besar, bukan takbiran tapi musik remix. Saya tegur, malah saya dikeroyok. Untung tidak kena," kata Eko.

Setelah kejadian itu Eko sempat melapor ke Polsek Kepung. Dan sejak saat itu ia semakin tegas menolak acara serupa yang digelar oleh warga di sekitarnya.

Selanjutnya pada Maret 2025, Eko kembali mendengar kabar ada pawai sound horeg di desanya. Ia melayangkan surat penolakan ke Bupati Kediri, Polres Kediri, hingga Gubernur Jawa Timur.

Lagi-lagi, dia hanya mendapatkan tanggapan normatif. Hingga dia bersama istrinya memutuskan untuk membuat petisi penolakan secara online.

Hasilnya, petisi itu berhasil menggalang dukungan 800 tanda tangan. Langkah itu justru memicu tekanan dari pihak yang mendukung acara sound horeg.

"Foto saya dan istri saya disebarkan sebagai orang yang dianggap membuat perizinan karnaval sound susah di Kediri. Rumah saya juga dipetakan oleh mereka," jelasnya.

Situasi memuncak pada 26 Maret 2025 ketika rumah Eko diteror suara sound system yang diarahkan langsung ke kediamannya.

"Kami sebenarnya mau mengungsi ke hotel, tapi orang tua saya takut rumah kosong. Akhirnya kami tetap di rumah," katanya.

Tidak hanya itu, Eko juga mengaku menerima berbagai komentar bernada ancaman di media sosial. Sejumlah akun bahkan mengajak massa mendatangi rumahnya.

Kini keteguhan Eko menyuarakan penolakan berbuah manis. Sejak dirinya viral di media sosial semakin banyak warga yang merasa terganggu menyuarakan keresahan yang sama hingga didengar pemerintah.

Ada dugaan bahwa petisi yang dia buat turut menjadi pertimbangan MUI Jatim dalam mengeluarkan fatwa haram untuk sound horeg yang dianggap lebih banyak mudharatnya daripada manfaat.

Eko tentu saat ini termasuk warga yang sedang menunggu aturan tegas dari Pemprov Jatim tentang pembatasan suara sound system dan penyelenggaraan karnaval dengan pengeras suara memekakkan telinga.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads