- Contoh Studi Kasus PPG 2025 Studi Kasus 1: Menciptakan Suasana Kelas PAUD yang Kondusif Studi Kasus 2: Strategi Mengajar Siswa SD Kelas Rendah yang Belum Lancar Membaca Studi Kasus 3: Menghadapi Siswa SD yang Kesulitan Beradaptasi, Refleksi Guru Kelas Studi Kasus 4: Menghadapi Tantangan Kedisiplinan Siswa SMP Studi Kasus 5: Menghadapi Siswa Pendiam di Kelas - Pengalaman Mengajar di SMA Studi Kasus 6: Menghadapi Siswa Pendiam di Kelas - Pengalaman Mengajar di SMA
Studi kasus PPG guru tertentu menjadi salah satu topik yang banyak dicari oleh calon guru menjelang pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru. Materi ini dianggap penting karena menguji lebih dari sekadar kemampuan teori, tetapi juga bagaimana calon guru merespons permasalahan nyata di lapangan.
Banyak peserta merasa kesulitan saat menjawab soal studi kasus karena dibutuhkan logika, pemahaman konteks, dan refleksi diri sebagai pendidik. Soal-soal ini biasanya berbentuk narasi yang memuat konflik pembelajaran, lalu diikuti pertanyaan tentang langkah yang seharusnya diambil guru.
Studi kasus juga melatih guru untuk berpikir kritis dan bertindak berdasarkan nilai profesionalisme dan etika pendidikan. Berikut contoh studi kasus PPG 2025.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Contoh Studi Kasus PPG 2025
Melalui studi kasus, peserta PPG ditantang untuk menganalisis situasi, mengambil keputusan, dan merancang solusi pembelajaran yang tepat.
Penilaian studi kasus dirancang untuk mencerminkan realita di kelas, mulai dari kesulitan siswa hingga pilihan strategi mengajar. Dirangkum dari berbagai sumber, berikut Contoh Studi Kasus PPG 2025, 500 kata yang cocok untuk guru di berbagai jenjang dengan beragam permasalahan.
Studi Kasus 1: Menciptakan Suasana Kelas PAUD yang Kondusif
Sebagai guru PAUD, saya menghadapi tantangan besar ketika suasana kelas di pagi hari sangat tidak kondusif. Anak-anak berlarian, berbicara keras, dan sulit fokus saat kegiatan pembelajaran dimulai. Instruksi lisan, baik dengan nada lembut maupun tegas, tidak mampu mengendalikan suasana. Bahkan saat menyanyi atau bercerita, sebagian anak memilih bermain sendiri, membuat kegiatan terganggu.
Saya menyadari bahwa karakteristik anak usia dini memang penuh energi dan memiliki rentang perhatian yang pendek. Namun, kondisi ini tak bisa dibiarkan karena berpotensi mengganggu proses belajar anak lainnya. Saya menyimpulkan bahwa pendekatan saya harus lebih adaptif dan sesuai dengan cara belajar anak.
Sebagai solusi, saya mulai menerapkan ritual pagi berbasis musik dan gerakan. Kegiatan pembuka seperti lagu "Tepuk Konsentrasi", "Tangan di Atas Kepala", dan yoga anak berdurasi singkat saya jadikan rutinitas sebelum pembelajaran. Lagu dan gerakan ini bertujuan membantu anak menyalurkan energi sekaligus memusatkan perhatian.
Selanjutnya, saya juga menata ulang ruang kelas menjadi beberapa pusat kegiatan yang dilengkapi permainan edukatif. Anak-anak dibagi menjadi kelompok kecil dan diajak berpindah dari satu area ke area lain secara bergiliran, sesuai tema harian. Ini meminimalkan kebosanan sekaligus mendorong interaksi yang lebih terstruktur.
Setelah satu bulan, perubahan mulai terlihat. Anak-anak lebih siap mengikuti kegiatan pagi, transisi dari bermain ke belajar menjadi lebih lancar, dan suasana kelas menjadi lebih tenang. Lagu-lagu pembuka menjadi momen yang mereka tunggu-tunggu setiap hari. Bahkan anak-anak yang sebelumnya sangat aktif mulai bisa duduk tenang lebih lama.
Umpan balik dari rekan guru dan orang tua juga positif. Mereka menyatakan anak menjadi lebih fokus dan tertib, bahkan perilaku di rumah ikut membaik. Ini membuktikan bahwa strategi yang tepat dapat memberi dampak luas, tidak hanya di ruang kelas.
Pengalaman ini mengajarkan bahwa menciptakan suasana kelas yang kondusif bukan sekadar soal aturan, tetapi pemahaman terhadap kebutuhan perkembangan anak. Guru PAUD dituntut fleksibel, kreatif, dan peka dalam merancang lingkungan belajar yang menyenangkan namun tetap terstruktur.
Sebagai calon guru profesional, saya belajar bahwa tantangan seperti ini merupakan bagian penting dari perjalanan mengajar. Dengan empati dan pendekatan yang menyenangkan, kelas yang semula sulit dikendalikan justru bisa berubah menjadi ruang belajar yang hangat, positif, dan penuh makna bagi setiap anak.
Studi Kasus 2: Strategi Mengajar Siswa SD Kelas Rendah yang Belum Lancar Membaca
Saat mengajar di kelas 2 SD, saya menemukan sekitar 30% siswa belum lancar membaca. Mereka masih kesulitan menggabungkan suku kata, lambat dalam membaca kalimat sederhana, dan tampak tidak percaya diri. Hal ini tentu berdampak pada pelajaran lain, terutama saat pembelajaran tematik yang menuntut kemampuan membaca pemahaman.
Awalnya saya menggunakan metode membaca bersama dan latihan membaca bergilir, namun hasilnya kurang signifikan. Sebagian siswa merasa malu saat diminta membaca keras di depan kelas, sehingga enggan mencoba. Saya pun menyadari bahwa pendekatan saya terlalu umum dan tidak cukup individual untuk mengatasi masalah yang spesifik ini.
Sebagai solusi, saya mulai menerapkan pembelajaran diferensiasi dalam kelompok kecil berdasarkan kemampuan membaca. Setiap pagi, sebelum pelajaran dimulai, saya adakan sesi "Baca Pagi" selama 15-20 menit. Siswa yang masih belum lancar saya ajak dalam kelompok kecil dan diberi bahan bacaan berjenjang sesuai kemampuan. Saya gunakan media kartu kata, buku cerita bergambar, dan aplikasi pembelajaran fonik berbasis tablet sekolah untuk menarik minat mereka.
Saya juga melibatkan siswa yang sudah lancar membaca sebagai "teman baca", di mana mereka mendampingi temannya membaca dengan cara menyenangkan. Program ini saya beri nama "Teman Baca Ceria". Selain itu, saya juga mengajak orang tua untuk meluangkan waktu 10-15 menit setiap malam untuk membaca bersama anak dan mengisi lembar jurnal membaca harian yang saya sediakan.
Setelah tiga bulan, terjadi peningkatan signifikan. Siswa yang awalnya tidak mau membaca mulai berani membuka buku dan membaca meski perlahan. Dalam asesmen formatif, skor membaca meningkat dan kecepatan membaca bertambah. Yang lebih penting, rasa percaya diri mereka meningkat-mereka mulai aktif bertanya, menjawab, dan menikmati kegiatan membaca.
Rekan guru dan kepala sekolah pun mendukung program ini, bahkan merekomendasikannya untuk diterapkan di kelas lain. Orang tua pun memberikan umpan balik positif karena anak mulai membawa pulang cerita yang mereka baca dan menceritakannya kembali di rumah.
Pengalaman ini menunjukkan bahwa keberhasilan membaca tidak datang dari tekanan, tetapi dari strategi yang personal, menyenangkan, dan kolaboratif. Sebagai guru, saya belajar pentingnya mengenali kemampuan dasar siswa dan berani menyesuaikan strategi mengajar demi keberhasilan setiap anak.
Studi Kasus 3: Menghadapi Siswa SD yang Kesulitan Beradaptasi, Refleksi Guru Kelas
Sebagai guru kelas IV SD, saya pernah menghadapi seorang siswa pindahan dari luar kota yang mengalami kesulitan beradaptasi di lingkungan sekolah baru. Selama dua minggu pertama, ia tampak pendiam, enggan bergaul dengan teman-temannya, dan sering menyendiri saat jam istirahat. Di kelas, ia hanya menjawab pertanyaan bila ditunjuk, itu pun dengan suara pelan dan pandangan tertunduk.
Situasi ini membuat saya khawatir. Saya khawatir ia akan semakin tertinggal baik secara akademik maupun sosial. Oleh karena itu, saya mulai mencari tahu lebih banyak melalui wali kelas sebelumnya dan berkoordinasi dengan orang tuanya. Ternyata, siswa tersebut belum pernah berpindah sekolah sebelumnya dan memiliki karakter introvert yang kuat. Ia merasa tidak nyaman dengan perubahan lingkungan dan pola pembelajaran yang berbeda dari sekolah lamanya.
Sebagai langkah awal, saya melakukan pendekatan secara personal. Setiap pagi, saya menyambutnya dengan sapaan ramah dan sedikit obrolan ringan. Di dalam kelas, saya secara sengaja menempatkannya di kelompok belajar yang terdiri dari siswa-siswa yang kooperatif dan suportif. Saya juga memberinya peran ringan dalam kegiatan kelas, seperti membagikan buku atau membantu merapikan alat tulis, untuk menumbuhkan rasa percaya diri.
Saya juga melibatkan teman-teman sekelas dalam membantunya beradaptasi. Saya meminta beberapa siswa untuk menjadi "teman pendamping" yang mengajaknya bermain saat istirahat dan membantunya saat ada kesulitan. Di sisi lain, saya menghindari memberikan tekanan atau tuntutan berlebihan yang bisa membuatnya semakin cemas.
Perlahan-lahan, saya mulai melihat perubahan. Ia mulai tersenyum saat disapa, lebih aktif dalam diskusi kelompok, dan sesekali mengangkat tangan saat ada pertanyaan. Dalam waktu kurang lebih satu bulan, ia sudah bisa berinteraksi lebih nyaman dan menunjukkan peningkatan dalam tugas-tugas sekolahnya.
Dari pengalaman ini, saya belajar bahwa tidak semua anak bisa langsung menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Butuh pendekatan yang sabar, empati, dan dukungan dari lingkungan sekitarnya. Tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi juga menciptakan ruang yang aman dan ramah agar setiap siswa bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensinya.
Studi Kasus 4: Menghadapi Tantangan Kedisiplinan Siswa SMP
Selama praktik mengajar di salah satu SMP, saya ditugaskan mendampingi kelas 8 yang dikenal "aktif" dan sulit diatur. Seringkali saat saya menjelaskan, banyak siswa yang tidak memperhatikan, berbicara sendiri, atau bermain HP. Awalnya saya mencoba menegur dengan cara biasa dan memberi tugas tambahan, namun tidak efektif.
Saya menyadari bahwa pendekatan otoriter tidak akan cukup. Saya mencoba mengenali penyebab perilaku mereka ternyata sebagian besar merasa bosan karena metode ceramah yang monoton. Beberapa juga menyatakan tidak memahami materi karena penyampaian terlalu cepat. Dari sini saya belajar bahwa kedisiplinan siswa tidak hanya soal tata tertib, tapi juga soal bagaimana pembelajaran dikemas.
Saya pun mulai menerapkan strategi Classroom Management berbasis hubungan dan partisipasi. Saya membuat kontrak kelas bersama siswa: mereka ikut menyusun aturan kelas dan konsekuensi yang disepakati bersama. Dalam pembelajaran, saya mulai gunakan metode game-based learning, kuis interaktif, dan diskusi kelompok.
Setiap awal minggu, saya membuat agenda mingguan yang melibatkan siswa dalam menetapkan target belajar mereka sendiri. Saya juga membuka sesi refleksi mingguan, tempat mereka bisa menyampaikan unek-unek atau saran secara anonim lewat kotak pesan.
Perubahan mulai terlihat setelah dua minggu. Siswa lebih tertib masuk kelas, mengikuti aturan yang mereka buat sendiri, dan mulai aktif saat diskusi. Bahkan siswa yang sebelumnya suka membangkang justru menjadi koordinator kelompok. Ketika terjadi pelanggaran, siswa lainnya yang mengingatkan, bukan hanya guru.
Nilai akademik meningkat secara bertahap dan yang lebih penting, suasana kelas menjadi lebih hangat dan saling menghargai. Saya juga merasakan hubungan yang lebih dekat dengan siswa karena komunikasi yang terbuka.
Dari kasus ini saya belajar bahwa kunci kedisiplinan bukan hanya kontrol, tapi keterlibatan dan empati. Siswa akan lebih mudah diarahkan ketika mereka merasa dihargai dan dilibatkan. Sebagai guru masa depan, saya ingin terus mengembangkan pendekatan yang membangun kedisiplinan dengan cara yang manusiawi dan kolaboratif.
Studi Kasus 5: Menghadapi Siswa Pendiam di Kelas - Pengalaman Mengajar di SMA
Sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA negeri, saya pernah menghadapi tantangan saat membimbing seorang siswa kelas X, sebut saja namanya Reyhan. Sejak awal semester, Reyhan tampak sangat tertutup. Ia selalu duduk di pojok belakang, jarang terlibat dalam diskusi kelas, bahkan tidak pernah bertanya ataupun mengungkapkan pendapatnya ketika diberi kesempatan.
Awalnya saya berpikir mungkin Reyhan belum beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Namun setelah beberapa bulan, sikapnya tetap sama. Ia hanya berbicara seperlunya, tampak tidak percaya diri, dan sering menghindari kontak mata saat diajak bicara. Hal ini tentu menjadi tantangan, apalagi pelajaran Bahasa Indonesia menuntut siswa untuk aktif berdiskusi, mengemukakan pendapat, serta berlatih berbicara di depan umum.
Saya mulai melakukan observasi dan menggali informasi dari wali kelas serta guru BK. Dari hasil diskusi, diketahui bahwa Reyhan berasal dari keluarga sederhana dan pernah mengalami perundungan saat di jenjang SMP. Hal tersebut memengaruhi kepercayaan dirinya, membuatnya menarik diri dari lingkungan sosial.
Untuk mengatasi hal ini, saya mengambil beberapa langkah. Pertama, saya coba membangun kepercayaan Reyhan secara personal. Saya ajak dia berdiskusi ringan di luar jam pelajaran, bukan soal pelajaran, melainkan tentang hal-hal yang ia sukai. Ternyata Reyhan menyukai musik instrumental dan suka menulis lirik lagu.
Mengetahui hal ini, saya mulai melibatkan Reyhan secara tidak langsung dalam pembelajaran. Misalnya, ketika membahas puisi atau cerpen, saya izinkan dia memilih karya sendiri dan menyampaikan hasilnya melalui tulisan, bukan lisan. Untuk tugas presentasi kelompok, saya beri peran yang sesuai seperti menjadi penata materi atau visual, agar dia tetap terlibat namun tidak merasa terpaksa tampil di depan umum.
Perlahan-lahan Reyhan menunjukkan perubahan. Ia mulai aktif mengumpulkan tugas tepat waktu, mengobrol dengan beberapa teman, dan sesekali bertanya saat pelajaran berlangsung. Di akhir semester, ia bahkan memberanikan diri membaca puisi ciptaannya saat ada kegiatan kelas. Meskipun suaranya pelan, seluruh kelas memberi tepuk tangan - momen yang sangat emosional dan membahagiakan bagi saya sebagai gurunya.
Pengalaman ini memberikan pelajaran penting bahwa setiap siswa memiliki cara tumbuh yang berbeda. Peran guru bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga menjadi jembatan agar siswa merasa aman untuk berkembang. Kesabaran, empati, dan pendekatan yang disesuaikan dengan karakter siswa sangat dibutuhkan untuk menggali potensi mereka yang tersembunyi.
Studi Kasus 6: Menghadapi Siswa Pendiam di Kelas - Pengalaman Mengajar di SMA
Sebagai guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA negeri, saya pernah menghadapi tantangan saat membimbing seorang siswa kelas X, sebut saja namanya Reyhan. Sejak awal semester, Reyhan tampak sangat tertutup. Ia selalu duduk di pojok belakang, jarang terlibat dalam diskusi kelas, bahkan tidak pernah bertanya ataupun mengungkapkan pendapatnya ketika diberi kesempatan.
Awalnya saya berpikir mungkin Reyhan belum beradaptasi dengan lingkungan sekolah baru. Namun setelah beberapa bulan, sikapnya tetap sama. Ia hanya berbicara seperlunya, tampak tidak percaya diri, dan sering menghindari kontak mata saat diajak bicara. Hal ini tentu menjadi tantangan, apalagi pelajaran Bahasa Indonesia menuntut siswa untuk aktif berdiskusi, mengemukakan pendapat, serta berlatih berbicara di depan umum.
Saya mulai melakukan observasi dan menggali informasi dari wali kelas serta guru BK. Dari hasil diskusi, diketahui bahwa Reyhan berasal dari keluarga sederhana dan pernah mengalami perundungan saat di jenjang SMP. Hal tersebut memengaruhi kepercayaan dirinya, membuatnya menarik diri dari lingkungan sosial.
Untuk mengatasi hal ini, saya mengambil beberapa langkah. Pertama, saya coba membangun kepercayaan Reyhan secara personal. Saya ajak dia berdiskusi ringan di luar jam pelajaran, bukan soal pelajaran, melainkan tentang hal-hal yang ia sukai. Ternyata Reyhan menyukai musik instrumental dan suka menulis lirik lagu.
Mengetahui hal ini, saya mulai melibatkan Reyhan secara tidak langsung dalam pembelajaran. Misalnya, ketika membahas puisi atau cerpen, saya izinkan dia memilih karya sendiri dan menyampaikan hasilnya melalui tulisan, bukan lisan. Untuk tugas presentasi kelompok, saya beri peran yang sesuai seperti menjadi penata materi atau visual, agar dia tetap terlibat namun tidak merasa terpaksa tampil di depan umum.
Perlahan-lahan Reyhan menunjukkan perubahan. Ia mulai aktif mengumpulkan tugas tepat waktu, mengobrol dengan beberapa teman, dan sesekali bertanya saat pelajaran berlangsung. Di akhir semester, ia bahkan memberanikan diri membaca puisi ciptaannya saat ada kegiatan kelas. Meskipun suaranya pelan, seluruh kelas memberi tepuk tangan - momen yang sangat emosional dan membahagiakan bagi saya sebagai gurunya.
Pengalaman ini memberikan pelajaran penting bahwa setiap siswa memiliki cara tumbuh yang berbeda. Peran guru bukan hanya mentransfer ilmu, tapi juga menjadi jembatan agar siswa merasa aman untuk berkembang. Kesabaran, empati, dan pendekatan yang disesuaikan dengan karakter siswa sangat dibutuhkan untuk menggali potensi mereka yang tersembunyi.
Pemahaman yang baik terhadap struktur dan tujuan studi kasus akan sangat membantu calon guru menghadapi ujian PPG dengan percaya diri. Semoga bermanfaat.
(ihc/hil)