Fatwa haram yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur terhadap fenomena sound horeg menuai beragam reaksi dari masyarakat. Ada yang mendukung karena dinilai meresahkan, sementara yang lain menganggap perlu kajian lebih lanjut.
Warga Surabaya, Indra (26) menilai aktivitas sound horeg memang menimbulkan dampak negatif bila tidak mempertimbangkan lingkungan sekitar.
"Dampaknya merugikan ya, kalau memang tidak melihat situasi dan kondisi di sekitarnya. Dampak kesehatan dan kerusakan bangunan dan lain sebagainya," ujarnya kepada detikJatim, Rabu (16/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dirinya menambahkan, fatwa haram yang muncul tersebut bisa jadi dipicu karena hal-hal negatif lain yang melekat dengan praktik sound horeg di masyarakat.
"Jadi kalau dari kegiatannya sendiri yang menjadi sorotan karena muncul fatwa haram kan mungkin kegiatan yang meliputinya, seperti pakaian terbuka dan lainnya," tambahnya.
Indra pun menyatakan dukungannya terhadap fatwa yang dikeluarkan MUI Jatim tersebut.
"Saya ya setuju aja dengan fatwa haram tersebut karena di MUI sudah jelas memperinci maksud kenapa muncul fatwa haram itu," ucapnya.
Ia juga sempat mengalami langsung dampak dari acara sound horeg.
"Saya pernah sekali melintas saat ada pertunjukan sound horeg banyak peminatnya, waktu itu lalu lintasnya terdampak macet," ungkapnya.
Berbeda dengan Indra, Najibah (25), warga Sidoarjo, memilih bersikap lebih hati-hati dalam menanggapi fatwa ini. Ia tidak sepenuhnya sepakat, namun juga tidak serta-merta menolaknya.
"Saya memang gak sepakat kalau sound horeg ini digelarnya sampai mengganggu aktivitas bahkan merusak rumah atau fasum," ucap Najibah.
Namun ia menilai perlu ada pertimbangan dari sisi lain.
"Tapi gak bisa bilang setuju atau enggak. Karena harus dilihat dari dua sisi maksudnya sisi pengusaha dan penikmatnya gimana? Nggak bisa dipungkiri mereka menggerakkan roda ekonomi masyarakat sekitar dari festival," jelasnya.
Terkait fatwa yang muncul, Najibah menyarankan agar ada kajian yang lebih mendalam.
"Tapi kalau sampai pakai fatwa-fatwa agama ya menurutku perlu ditelaah lagi. Beneran seharam itu kah?,"
Meski tak terdampak langsung, ia juga sempat menyaksikan festival serupa di kawasan Kota Batu.
"Terdampak sih enggak. Cuma pernah lihat festivalnya waktu ke Batu pekan lalu. Memang bising mengganggu gendang telinga dan bikin macet," tuturnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur KH Makruf Khozin membenarkan bahwa pihaknya telah mengeluarkan fatwa terkait maraknya pertunjukan sound horeg yang belakangan menuai keluhan dari masyarakat.
"Sudah MUI Jatim keluarkan (fatwa soal sound horeg)," kata Makruf saat dikonfirmasi detikJatim, Senin (14/7/2025).
Dalam salinan Fatwa MUI Jatim Nomor 1/2025 tentang Penggunaan Sound Horeg yang diterima detikJatim, ada sejumlah hal yang diharamkan dalam penggunaan sound horeg. Ada 6 poin yang dirumuskan MUI Jatim dalam fatwa itu. Simak detailnya berikut ini.
1. Memanfaatkan kemajuan teknologi audio digital dalam kegiatan sosial, budaya dan lain-lain merupakan sesuatu yang positif selama tidak bertentangan dengan perundang-undangan dan tidak menyalahi prinsip-prinsip syari'ah.
2. Setiap individu memiliki hak berekspresi selama tidak mengganggu hak asasi orang lain.
3. Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar (tertera dalam konsideran) sehingga dapat mengganggu dan membahayakan kesehatan, dan atau merusak fasilitas umum atau barang milik orang lain, memutar musik diiringi joget pria wanita dengan membuka aurat dan kemunkaran lain, baik dilokalisir pada tempat tertentu maupun dibawa berkeliling pemukiman warga hukumnya haram.
4. Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara secara wajar untuk berbagai kegiatan positif, seperti resepsi pernikahan, pengajian, shalawatan dan lain-lain, serta steril dari hal-hal yang diharamkan hukumnya boleh.
5. Battle sound atau adu sound yang dipastikan menimbulkan mudarat yaitu kebisingan melebihi ambang batas dan berpotensi tabdzir dan idha'atul mal (menyia-nyiakan harta) hukumnya haram secara mutlak.
6. Penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar yang mengakibatkan dampak kerugian terhadap pihak lain, wajib dilakukan penggantian.
(auh/hil)