Rencana kenaikan tarif ojek online (ojol) tengah dikaji oleh pemerintah. Guru Besar Unair mengingatkan, perlu kehati-hatian dalam hal ini karena menyangkut kesejahteraan jutaan pekerja informal digital serta konsumen.
"Perlu diklarifikasi dulu, apakah benar kenaikan tarif ini semata-mata demi kesejahteraan driver? Atau justru hanya memunculkan beban tambahan bagi masyarakat luas?" ujar Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair, Prof Dr Rossanto Dwi Handoyo, Sabtu (12/7/2025).
Rossanto menyebut, pemerintah dalam hal ini perlu lebih transparan untuk menjelaskan tujuan serta skema dari implementasi kebijakan mengenai tarif ojol.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, tidak ada jaminan bahwa dengan kenaikan tarif akan otomatis meningkatkan pendapatan pengemudi ojol.
"Idealnya, tidak hanya bicara soal kenaikan tarif, tapi tentang pendapatan minimum yang dijamin diterima oleh pengemudi per transaksi," tuturnya.
Ia melanjutkan, jika kenaikan tarif itu nantinya tidak diatur dengan sistem yang tepat, maka dampaknya belum tentu bisa mewujudkan kesejahteraan driver. Namun bisa jadi malah menjadi beban bagi konsumen.
Selain itu, ada ancaman yang bisa timbul dari kenaikan tarif ojol jika tidak dikaji dengan hati-hati. Yang paling mengkhawatirkan menurut Rossanto yakni potensi meningkatnya angka kemiskinan karena pendapatan pengemudi yang tidak dapat mencukupi kebutuhan dasar keluarganya.
"Pemerintah tentu tidak ingin muncul masyarakat miskin baru dari sektor ojol ini," katanya.
Untuk ilustrasi dirinya mencontohkan bahwa garis kemiskinan di Indonesia saat ini berada pada kisaran Rp600 ribu per kapita per bulan. Apabila satu keluarganya terdiri dari empat orang, maka perlu minimal Rp 2,4 juta per bulan untuk hidup layak.
Apabila seorang pengemudi ojol yang berperan tulang punggung keluarga hanya bisa mendapatkan penghasilan di bawah jumlah itu, maka secara statistik keluarganya termasuk kategori miskin.
"Kalau driver ojol bekerja penuh waktu tapi pendapatannya tidak cukup untuk keluarganya, berarti sistemnya bermasalah. Ini bukan hanya soal efisiensi digital, namun tentang keadilan ekonomi," jelasnya.
Rossanto pun menegaskan bahwa negara harus aktif di dalam mengatur ekosistem ekonomi digital supaya tidak menciptakan ketimpangan baru. Sebab jika tidak diiringi dengan regulasi yang adil, maka digitalisasi juga bisa memperdalam adanya jurang sosial ekonomi, utamanya bagi kelompok pekerja informal, termasuk mitra ojol.
"Kalau kita hanya menyerahkan pada mekanisme pasar, yang kuat akan semakin kuat. Negara harus hadir untuk menyeimbangkan," pungkasnya.
(irb/hil)