"Selama 8 atau 9 bulan itu mandornya ya punya utang ke saya itu sekitar Rp 173 juta yang belum dibayar," ujarnya, Sabtu (5/7).
Sayangnya, kata Rofiah, meskipun pembangunan stadion Surajaya Lamongan telah rampung, utang Rp 173 juta meliputi makan, minum, dan rokok itu belum juga terbayar.
Warga Desa Kebonagung, Kecamatan Babat itu mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan mencari talangan uang.
Padahal Rofiah adalah tulang punggung karena sudah pisah dengan suami dan harus menghidupi 3 anak, seorang anak yatim dan ibunya yang sudah berusia 80 tahun.
"Anak saya tiga, ada anak yatim juga yang saya urus, dan ibu saya yang sudah tua. Untuk makan sehari-hari saja sulit. Untuk bayar sekolah anak-anak pun saya kesusahan," keluhnya.
Kini, Rofiah hanya bisa berharap agar ada perhatian dari pemerintah maupun pihak terkait agar para mandor bisa segera melunasi utang mereka.
"Saya berharap kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto, mudah-mudahan bisa membantu mandor-mandor agar mereka bisa segera membayar warung. Itu saja harapan saya," harapnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Lamongan, Mochammad Zamroni mengaku menerima aduan dari seorang mandor proyek Stadion Surajaya.
Zamroni menjelaskan, laporan atau surat yang ia terima menunjukkan adanya keterkaitan antara upah pembayaran dan surat perjanjian kerja (SPK).
"Kami akan berupaya untuk audensi untuk dengan para pihak, mandor dan PT WIKA Gedung agar dapat memahami persoalan ini lebih jelas," ujarnya.
Mandor pekerjaan struktur bekisting dan pengecoran untuk pembangunan Stadion Lamongan itu mengadukan PT Wika Bangunan Gedung Proyek Stadion Surajaya Lamongan.
Perusahaan itu tidak segera menyelesaikan kekurangan pembayaran kepada mereka padahal stadion sudah selesai 100% pekerjaan dan sudah diresmikan awal Maret 2025.
"Kami selaku mandor juga ditagih. bayaran tukang-tukang, bon makan di warung proyek, pinjaman di bank (dulu untuk modal proyek)," tulis pengadu dalam suratnya ke Disnaker Lamongan.
Dalam rincian yang disampaikan melalui surat tersebu, nominal yang tertera dalam perjanjian perintah kerja tersebut mencapai sekitar Rp 570 juta.
"Masalah ini harus diselesaikan secara baik antara kedua belah pihak. Kami berharap akan ada solusi yang dapat diterima oleh kedua belah pihak sesuai dengan perjanjian kerjanya," tambahnya.
(dpe/abq)