- Apa Itu Stevens-Johnson Syndrome?
- Gejala Stevens-Johnson Syndrome Gejala Awal Gejala Lanjutan (Lebih Serius)
- Penyebab
- Faktor Risiko
- Cara Diagnosis 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 2. Biopsi Kulit untuk Konfirmasi Histopatologis 3. Investigasi Tambahan 4. Skoring Keparahan
- Pengobatan dan Penanganan
- Pencegahan
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) adalah kondisi medis langka yang bisa berakibat fatal jika tidak segera ditangani. Penyakit ini ditandai dengan reaksi parah pada kulit dan selaput lendir, biasanya dipicu obat-obatan atau infeksi tertentu.
Gejala awalnya sering disalahartikan sebagai flu biasa, namun dengan cepat berkembang menjadi ruam, lepuhan, dan pengelupasan kulit yang menyakitkan. Karena sifatnya yang progresif dan membahayakan, penting untuk mengenali gejala SJS sejak dini dan memahami faktor risikonya.
Lantas, apa itu Stevens-Johnson Syndrome, gejala khas yang perlu diwaspadai, penyebabnya, serta langkah penanganan dan pencegahannya. Berikut informasi selengkapnya dirangkum dari berbagai sumber.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 10 Gaya Hidup Sehat untuk Hindari Hipertensi |
Apa Itu Stevens-Johnson Syndrome?
Tak banyak yang mengenal penyakit ini secara detail, padahal Stevens-Johnson Syndrome membutuhkan penanganan medis segera. Dilansir dari situs resmi Kementerian Kesehatan, Stevens-Johnson Syndrome adalah kumpulan gejala klinis yang ditandai dengan gangguan pada kulit, selaput lendir di area mulut, mata, serta alat kelamin.
Penyebab utamanya adalah reaksi hipersensitivitas, yaitu sistem imun tubuh yang bereaksi berlebihan terhadap obat atau infeksi. Gejalanya bersifat sistemik dan berat, memerlukan perawatan intensif di rumah sakit. Sekitar 90 persen kasus ini melibatkan selaput lendir dan 10 persen di antaranya menyebabkan pengelupasan kulit (epidermis).
Para penderita, kulit dan selaput lendir terkelupas, nyeri, bahkan berisiko komplikasi organ dalam. Karena sifatnya bisa berkembang cepat dan membahayakan, penting mengenal gejala hingga cara pencegahannya. Sebab, kondisi ini bisa menjadi Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), bentuk yang lebih parah dari Stevens-Johnson Syndrome.
Gejala Stevens-Johnson Syndrome
Gejala awal Stevens-Johnson Syndrome sering kali menyerupai flu. Ini yang membuat banyak orang terlambat menyadari bahayanya. Demam, kelelahan, nyeri tenggorokan, dan batuk biasanya muncul terlebih dahulu, sebelum ruam dan lepuhan terlihat pada kulit dan mulut.
Setelah fase awal, kulit penderita akan mengalami ruam merah yang menyebar cepat, membentuk lepuh, lalu mengelupas. Lesi juga bisa muncul di area mata, mulut, dan alat kelamin. Stevens-Johnson Syndrome juga sering disertai rasa nyeri hebat dan sulit makan atau minum. Waspadai gejala berikut.
Gejala Awal
- Demam tinggi (lebih dari 38°C)
- Kelelahan
- Sakit kepala
- Nyeri sendi
- Perih di mulut dan tenggorokan
- Mata terasa panas dan perih
- Batuk
Gejala Lanjutan (Lebih Serius)
- Muncul lepuhan di kulit, mulut, hidung, mata, dan alat kelamin
- Ruam kemerahan atau keunguan yang meluas
- Kulit mengelupas dalam beberapa hari setelah lepuh muncul
- Rasa nyeri dan panas seperti terbakar di seluruh tubuh
Gejala Stevens-Johnson Syndrome harus ditangani segera. Jangan tunda ke rumah sakit jika mengalami tanda-tanda di atas, apalagi setelah mengonsumsi obat tertentu atau mengalami infeksi.
Penyebab
Banyak kasus Stevens-Johnson Syndrome dipicu konsumsi obat-obatan tertentu. Antibiotik seperti sulfonamida, antikejang, dan obat asam urat seperti allopurinol sering kali jadi pemicu utama. Beberapa jenis obat yang sering memicu Stevens-Johnson Syndrome antara lain sebagai berikut.
- Obat asam urat: allopurinol
- Obat nyeri: meloxicam, naproxen, piroxicam
- Antibiotik: penisilin, sulfonamida
- Obat antivirus: nevirapine
- Obat anti kejang: phenytoin, carbamazepine, lamotrigine
Namun, infeksi virus dan bakteri seperti Mycoplasma Pneumoniae juga bisa menyebabkan Stevens-Johnson Syndrome. Sementara pada anak-anak, Stevens-Johnson Syndrome lebih sering dipicu infeksi virus berikut ini.
- Pneumonia
- HIV
- Hepatitis A
- Gondongan
- Influenza
- Penyakit Bornholm
- Herpes
- Demam kelenjar
Faktor Risiko
Tidak semua orang memiliki risiko yang sama terhadap Stevens-Johnson Syndrome. Orang dengan sistem imun lemah, seperti penderita HIV/AIDS atau lupus, berisiko lebih tinggi terkena sindrom ini.
Faktor genetik seperti keberadaan gen HLA-B*1502 pada sebagian orang Asia Tenggara juga bisa meningkatkan risiko jika mengonsumsi obat tertentu. Berikut beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengalami sindrom ini.
- Memiliki kelainan genetik tertentu (misalnya HLA-B*1502)
- Riwayat pribadi atau keluarga yang pernah mengalami SSJ
- Mengidap kanker, khususnya kanker darah
- Sistem imun lemah, seperti penderita HIV/AIDS, pasien kemoterapi, atau setelah transplantasi organ
Cara Diagnosis
Penegakan diagnosis Stevens-Johnson Syndrome tidak bisa dilakukan sembarangan. Dokter biasanya akan melihat gejala fisik yang khas, menanyakan riwayat konsumsi obat, dan melakukan biopsi kulit untuk memastikan diagnosis.
Penting bagi pasien atau keluarganya memberikan informasi lengkap soal obat-obatan yang dikonsumsi untuk mempermudah dokter menentukan pemicu dan langkah penanganan yang tepat. Berikut beberapa cara diagnosis Stevens-Johnson Syndrome.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pertama-tama, dokter akan melakukan wawancara riwayat medis dan obat-obatan. Dokter menanyakan secara mendetail riwayat konsumsi obat dalam 4-28 hari terakhir, termasuk suplemen dan OTC, karena periode waktu ini krusial untuk mengidentifikasi pemicu Stevens-Johnson Syndrome.
Lalu, memeriksa gejala klinis ruam berupa makula kemerahan atau keunguan, lepuhan, dan pengelupasan kulit <10% luas permukaan tubuh, ditambah luka di selaput lendir (mulut, mata, alat kelamin), yang menjadi indikator diagnostik utama. Juga melihat tanda nikolsky positif, di mana kulit mengelupas saat ditekan atau digesek ringan.
2. Biopsi Kulit untuk Konfirmasi Histopatologis
Biopsi kulit dilakukan untuk menegakkan diagnosis Stevens-Johnson Syndrome, terutama jika gambaran klinis belum jelas atau perlu menyingkirkan kondisi lain, seperti Staphylococcal Scalded Skin Syndrome.
Hasil khasnya adalah nekrosis sel epidermis penuh dengan inflamasi minimal. Idealnya biopsi kulit dilakukan di tepi lesi yang mengelupas agar jaringan normal dan lesion termuat dalam satu sampel.
3. Investigasi Tambahan
Tes lab dan kultur mikrobiologi ini termasuk pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal, elektrolit, dan kultur dari kulit atau darah bila dicurigai infeksi/sepsis. Lalu, akan dilakukan pencitraan bila diperlukan.
Misalnya chest X-ray, jika ada gejala pernapasan atau dicurigai pneumonia. Juga bisa dengan biomarker eksperimental, yaitu penelitian yang terkini menyoroti serum granulysin dan marker inflamasi lain (TNF‑α, IL‑6), tetapi belum diterapkan secara rutin.
4. Skoring Keparahan
Skoring keparahan dilakukan dengan scorten, yaitu alat untuk memproyeksikan risiko kematian akibat SJS/TEN, berdasarkan usia, involusi kulit, fungsi organ, kadar glukosa, dan parameter vital lainnya. Lalu, bisa dengan ABCD‑10, yaitu model alternatif yang sederhana, memasukkan usia >50, gangguan ginjal, kanker aktif, dialisis, dan detachment >10%.
Pengobatan dan Penanganan
Stevens-Johnson Syndrome harus ditangani di rumah sakit, bahkan bisa memerlukan perawatan intensif di ruang ICU atau burn unit. Langkah pertama adalah menghentikan obat penyebab sindrom ini. Setelah itu, pasien akan mendapat perawatan suportif seperti cairan infus, pengontrol nyeri, dan perawatan luka.
Beberapa terapi tambahan juga bisa diberikan, seperti kortikosteroid dosis tinggi atau IVIG, meski efektivitasnya masih diperdebatkan. Dalam kasus dengan gejala mata, dokter spesialis mata juga harus terlibat untuk mencegah risiko kebutaan.
Penyembuhan dari Stevens-Johnson Syndrome membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kulit bisa pulih dalam beberapa minggu, tapi komplikasi jangka panjang seperti jaringan parut, masalah mata kronis, atau gangguan pada kuku dan alat kelamin bisa terjadi.
Meskipun termasuk langka, tingkat kematian akibat Stevens-Johnson Syndrome cukup tinggi, terutama jika terlambat ditangani. Karena itu, kesadaran terhadap gejala dan penanganan dini sangat krusial untuk memperbesar peluang kesembuhan.
Pencegahan
Lebih baik mencegah daripada mengobati. Jika pernah mengalami reaksi alergi obat, pastikan untuk mencatat dan memberi tahu dokter saat mendapat resep baru. Hindari penggunaan obat-obatan pemicu tanpa pengawasan medis.
Untuk orang-orang yang memiliki risiko genetik tinggi, seperti keturunan Asia Tenggara, tes genetik sebelum mengonsumsi obat tertentu seperti carbamazepine bisa membantu mencegah terjadinya SJS. Berikut beberapa cara untuk mencegah Stevens-Johnson Syndrome.
- Hindari konsumsi obat-obatan pemicu jika pasien atau keluarga punya riwayat Stevens-Johnson Syndrome
- Konsultasikan dengan dokter sebelum menggunakan obat baru
- Lakukan tes alergi atau tes genetik jika memiliki faktor risiko
- Selalu beri tahu dokter bahwa kamu memiliki riwayat SSJ sebelum pengobatan
- Jangan membeli atau mengonsumsi obat tanpa resep, terutama golongan obat berisiko tinggi
Dengan mengetahui penyebab dan gejala sejak awal, pasien bisa lebih cepat mengambil tindakan jika mengalami keluhan yang mencurigakan ke arah Stevens-Johnson Syndrome. Semoga informasi ini bermanfaat.
(auh/irb)