Berkurban saat Idul Adha menjadi kewajiban umat Islam, bagi yang mampu. Namun, berkurban tidak selalu dalam bentuk fisik hewan, tetapi bisa melalui teknologi digital.
Pakar Informasi Teknologi (IT) Surabaya Supangat mengatakan momen Hari Raya Idul Adha, pembahasan soal kurban biasanya berkutat pada penyembelihan hewan. Padahal, esensi dari kurban tidak hanya soal wujud fisik yang dikorbankan, tetapi soal nilai rela melepaskan sesuatu yang disukai demi hal lebih besar dan baik.
"Di era digital seperti sekarang, di mana aktivitas manusia banyak bergeser ke dunia maya, makna kurban perlu dilihat dari sudut yang lebih luas. Kurban tetap penting dalam bentuk fisik, tetapi dalam kehidupan sehari-hari yang sarat teknologi, muncul bentuk-bentuk kurban lain yang juga layak direnungkan," kata Supangat, Senin (9/6/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan, Idul Adha bisa menjadi momen yang tepat untuk kembali mempertanyakan hal-hal apa saja yang perlu dikorbankan demi kebaikan yang lebih besar. Seperti, apakah waktu, perhatian, kenyamanan, atau keputusan yang menguntungkan dalam jangka pendek tetapi berisiko dalam jangka panjang.
"Dalam dunia yang semakin terhubung oleh teknologi, semangat pengorbanan tetap relevan. Kurban digital bukan soal mengganti ibadah fisik, melainkan soal memperluas makna bahwa pengorbanan juga bisa terjadi di ruang digital, melalui pilihan sadar yang mengedepankan nilai, etika, dan kepentingan bersama," ujarnya.
Ia mengatakan, di lingkungan kerja, khususnya pengelolaan sistem informasi, kurban bisa dimaknai sebagai kesediaan untuk mengambil keputusan yang tidak selalu mudah. Contohnya, ketika muncul godaan mengambil jalan pintas demi menyelesaikan proyek dengan cepat, padahal ada risiko keamanan atau etika yang perlu dipertimbangkan.
"Menjaga integritas sistem, melindungi kerahasiaan data pengguna, dan membangun sistem yang aman serta andal, seringkali membutuhkan waktu dan sumber daya lebih. Pengambilan keputusan yang tepat dalam situasi seperti ini merupakan bentuk tanggung jawab profesional sekaligus pengorbanan yang tidak selalu terlihat, namun penting untuk jangka panjang," jelas pria yang menjabat Wakil Ketua 3 Asosiasi Pendidikan Tinggi Informatika dan Komputer (Aptikom) Jatim itu.
Baginya, teknologi tidak sepenuhnya netral. Di balik setiap sistem yang dibangun, selalu ada keputusan dan pertimbangan yang dibuat oleh manusia. Apakah sistem yang dirancang mampu diakses semua pihak, atau hanya bisa dinikmati oleh kelompok tertentu. Apakah efisiensi menjadi satu-satunya ukuran keberhasilan, atau ada pertimbangan inklusivitas di dalamnya.
"Saat masih banyak wilayah yang belum mendapatkan akses internet yang memadai, penting untuk memastikan bahwa sistem informasi yang dikembangkan tidak menambah jurang ketimpangan. Kurban dalam hal ini bisa berarti menahan keinginan untuk mengejar popularitas teknologi mutakhir dan menggantinya dengan komitmen untuk membangun sistem yang adil, terbuka, dan menyeluruh," urainya.
Supangat menjelaskan kurban dalam kehidupan digital sehari-hari, seperti kehadiran teknologi membawa banyak kemudahan, tetapi juga memunculkan tantangan baru. Waktu yang tersita di depan layar, perhatian terbagi karena notifikasi tanpa henti, dan kebiasaan multitasking mempengaruhi kualitas hubungan sosial menjadi hal yang lumrah terjadi.
"Dalam kondisi seperti ini, mengurangi distraksi bisa menjadi bentuk pengorbanan. Mengelola penggunaan teknologi secara sadar, membatasi akses media sosial di waktu-waktu tertentu, atau menyediakan waktu khusus untuk hadir secara utuh di tengah keluarga dan rekan kerja, adalah bentuk pengorbanan yang kontekstual di era digital. Hal-hal tersebut mungkin tampak kecil, namun memiliki dampak besar dalam menjaga keseimbangan hidup," pungkasnya.
(esw/abq)