Damar Kurung merupakan salah satu tradisi yang dilakukan masyarakat di sekitar Gresik, dalam rangka menyambut malam Lailatul Qadar. Secara etimologis, kata 'Damar' diambil dari bahasa Jawa yang artinya pelita, sementara itu 'kurung' berarti kurungan atau 'terperangkap'.
Dengan demikian, dapat disimpulkan Damar Kurung menggambarkan cahaya yang terkurung dalam lukisan atau gambar bercerita. Damar Kurung berbentuk lampion segi empat dengan kerangka yang terbuat dari bambu dan dilapisi kertas.
Pada bulan Ramadan, dalam rangka menyambut malam penuh kemuliaan atau Lailatul Qadar, biasanya warga Gresik menggantung Damar Kurung di depan rumah. Nah, untuk mengenal Damar Kurung lebih dalam, mari simak penjelasan selengkapnya di bawah ini.
Sejarah Damar Kurung
Berdasarkan jurnal Damar Kurung Hasil Akulturasi Kebudayaan Masyarakat Gresik yang ditulis Azis & Wahyuningsih, Damar Kurung berawal ketika Gresik masih berupa pelabuhan dan berperan sebagai pusat perdagangan. Saat itu, banyak kapal yang bersinggah di Gresik, tak terkecuali pedagang dari Arab, Gujarat, dan China.
Kedatangan pedagang dari seluruh penjuru membawa pengaruh yang cukup besar dalam hal penyebaran agama dan budaya. Tak terkecuali, kebudayaan Tionghoa yang turut melebur dengan masyarakat di sekitar, salah satunya kebudayaan lampion.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya, lampion yang digunakan warga Tionghoa digambarkan sebagai wujud kesempurnaan dan keberuntungan. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, lampion kini dimodifikasi menjadi Damar Kurung agar lebih autentik sebagai ikon dari Gresik.
Disebutkan bahwa tradisi lampion di Gresik sudah ada sejak abad ke-16, tepatnya pada masa Sunan Prapen, salah satu tokoh yang berperan besar dalam proses penyebaran agama Islam di Gresik. Kini, warisan budaya Damar Kurung masih dipertahankan dan dilestarikan masyarakat di Gresik, terutama ketika memasuki bulan Ramadan.
Maestro di Balik Damar Kurung
Dilansir Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kehadiran Damar Kurung diawali dari sebuah keluarga kecil dari pasangan bernama Sadiman dan Matija, yang tinggal di sebuah desa kecil bersama empat orang putri. Sadiman merupakan sosok pekerja seni, ia berprofesi sebagai dalang.
Di sisi yang lain, untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, Sadiman juga membuat Damar Kurung. Setelah meninggal, tradisi Damar Kurung diwariskan kepada keempat putrinya, yang salah satunya bernama Masmundari.
Sosok yang lahir pada 1904 di Kampung Kroman Gresik, mempelajari cara melukis Damar Kurung melalui ayah dan saudari-saudarinya. Lukisannya identik dengan penggunaan warna yang berani dengan mengambil fenomena atau kejadian sehari-hari yang ia temukan di sekitarnya.
Ketika Ramadan tiba, Masmundari mulai menjual Damar Kurung buatannya. Damar Kurung biasanya diletakkan di makam-makam Gresik, di mana cahayanya tidak boleh padam selama malam Lailatul Qadar hingga Lebaran. Setelah itu, makam akan dibersihkan dan warga setempat akan membawa pulang Damar Kurung untuk dipasang di teras rumah.
Masyarakat meyakini Damar Kurung sebagai penerangan untuk arwah yang telah meninggal selama bulan Ramadan. Selain itu, cahaya yang terpancar dari Damar Kurung juga digunakan untuk menerangi malam gelap setelah waktu magrib.
Kini, tradisi Damar Kurung untuk menyambut malam Lailatul Qadar selama bulan suci Ramadan masih terus dilangsungkan. Lentera Damar Kurung diisi dengan lukisan-lukisan sederhana mengenai kehidupan sehari-hari, dengan warna khas merah, biru, hijau, atau ungu.
Pada tahun 2017, Damar Kurung juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Dengan demikian, eksistensinya harus terus dipertahankan agar tidak tergerus perkembangan zaman.
(ihc/irb)