Baru-baru ini pasangan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Ngawi menikah. Padahal hukum pernikahan hanya berlaku bagi mereka yang berakal. Bagaimana hukumnya?
Menurut ulama fiqh seperti yang dilansir dari NUOnline, salah satu syarat ijab kabul adalah tamyizmuta'aqidain, yang melakukan akad berakal serta bisa membedakan baik dan buruk. Tamyiz Muta'aqidain (تمييز المتأقدين) adalah istilah dalam ilmu hadits yang berarti "membedakan antara dua orang yang memiliki pendapat yang sama".
Dalam konteks ilmu hadits, Tamyiz Muta'aqidain digunakan untuk membedakan antara dua orang periwayat hadits yang memiliki pendapat yang sama tentang suatu hadits, tetapi memiliki sanad (rantai penularan) yang berbeda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tujuan dari Tamyiz Muta'aqidain adalah untuk menentukan mana di antara dua periwayat hadits yang lebih bisa dipercaya dan mana yang lebih lemah. Dengan demikian, dapat ditentukan apakah suatu hadits dapat diterima sebagai hadits yang sah atau tidak.
Para ulama berkesimpulan bahwa pasangan yang menderita junun (gangguan jiwa), judzam (kusta), barash (balak), atau penyakit lain yang menular dan tergolong berbahaya, berhak mengajukan fasakh.
Secara bahasa, fasakh berarti pembatalan, pemisahan, penghilangan, pemutusan, atau penghapusan. Sedangkan secara istilah, fasakh adalah pembatalan perkawinan karena sebab yang tidak memungkinkan perkawinan diteruskan, atau karena cacat atau penyakit yang terjadi pasca akad dan mengakibatkan tujuan atau arti pernikahan tidak tercapai.
Fasakh diputuskan oleh hakim pengadilan berdasarkan pengajuan dari suami, istri, wakilnya, atau pihak berwenang yang sudah mukallaf, balig, dan berakal sehat, dengan catatan bila yang menjadi penyebab fasakh adalah perkara-perkara yang membutuhkan tinjauan dan pertimbangan hakim. Sementara penyebab fasakh akibat tidak terpenuhinya syarat pernikahan dapat diputuskan tanpa melalui keputusan hakim.
Dengan demikian, melalui meja pengadilan, istri memiliki hak yang sama dengan suami untuk membatalkan pernikahan atas alasan yang dibenarkan syariat.
Penetapan hak fasakh bagi suami dan istri akibat cacat atau penyakit antara lain berdasarkan hadis riwayat Al-Baihaqi dari Ibnu 'Umar bin Al-Khathab. Disebutkan, pada suatu ketika Nabi SAW menikah dengan seorang perempuan dari Bani Ghifar. Ketika perempuan itu memasuki kamar, Rasulullah SAW melihat bagian lambungnya berwarna putih.
فَقَالَ: اِلْبَسِي ثِيَابَكَ، وَالْحِقِي بِأَهْلِكَ وَقَالَ لِأَهْلِهَا: دَلَّسْتُمْ عَلَيَّ
Artinya, "Rasulullah SAW bersabda kepadanya, 'Kenakanlah pakaianmu dan kembalilah kepada keluargamu. Kemudian beliau bersabda kepada keluarganya, 'Kalian sembunyikanlah kekurangannya dariku!' (HR Al-Baihaqi dan Abu Ya'la).
Sa'id bin Al-Musayyib meriwayatkan:
أَيُّمَا رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةً، وَبِهِ جُنُونٌ، أَوْ ضَرَرٌ، فَإِنَّهَا تُخَيَّرُ. فَإِنْ شَاءَتْ قَرَّتْ. وَإِنْ شَاءَتْ فَارَقَتْ
Artinya, "Bilamana seorang laki-laki menikahi seorang perempuan, dan laki-laki itu mengalami gangguan jiwa atau mengidap penyakit berbahaya, maka si perempuan diberi pilihan (khiyar). Jika mau, ia boleh meneruskan perkawinan. Jika tidak, ia boleh bercerai," (HR Malik).
(dpe/fat)