Analisis Pakar Soal #KaburAjaDulu, Bentuk Kekecewaan dan PR Pemerintah

Analisis Pakar Soal #KaburAjaDulu, Bentuk Kekecewaan dan PR Pemerintah

Esti Widiyana - detikJatim
Rabu, 19 Feb 2025 06:00 WIB
Viral tagar #KaburAjaDulu dulu yang bergema di media sosial khususnya X. Pengamat media sosial memberikan pandangannya terhadap fenomena ini.
Viral tagar #KaburAjaDulu dulu. (Foto: Canva)
Surabaya -

Di media sosial masih menggema tagar #KaburAjaDulu. Pakar Sosiologi menyebutkan bahwa ini merupakan ungkapan perasaan masyarakat atas kebijakan pemerintah yang menimbulkan kontroversi.

"Tagar itu sebagai ungkapan rasa kecewa yang didominasi GenZ atas kebijakan publik. Ketika trending, maka perlu menjadi perhatian pemerintah atas kondisi tersebut," kata Pakar Cultural Studies Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya Radius Setiyawan saat dihubungi detikJatim, Selasa (18/2/2025).

Dia menyebutkan bahwa ekspresi kekecewaan itu trending di medsos justru ketika pemerintah baru saja merilis tingkat kepuasan 100 hari kerja yang berada di angka 80%. Ada survei tingkat kepuasan, tetapi di sosial media menggema #KaburAjaDulu. Menurut Radius ini adalah sebuah anomali.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemerintah itu dengan bangganya menyuguhkan rating (kinerja), tapi di satu sisi ada fenomena itu. Saya kira pemerintah perlu menjadikan itu perhatian," ujarnya.

Menurut Ahli Sosiologi ini, #KaburAjaDulu itu bukan berarti masyarakat tidak nasionalisme. Justru melihat apa yang terjadi saat ini bagian dari rasa cinta dari generasi muda terhadap Indonesia.

ADVERTISEMENT

"Ini mungkin kaitannya dengan efisiensi anggaran terutama di persoalan bidang penting seperti pendidikan dan lain. Menurut saya itu bagian dari kecintaan mereka terhadap Indonesia. Bukan persoalan nasionalisme, justru GenZ mengungkapkan ekspresi kecewa dengan itu dan pemerintah harus melihat itu," katanya.

Radius juga menyayangkan sikap Wamenaker Immanuel Ebenezer yang justru menyatakan, "kabur saja lah. Kalau perlu jangan balik lagi". Hal itu justru membuat situasi panas.

"Ini saya kira justru itu kontrak produktif. Ini katanya dengan komunikasi pemerintah ke khalayak khususnya ke anak-anak muda harusnya tidak seperti itu. Approval rating itu akhirnya membuat orang ragu puas atau tidak, karena di sosial media menggema #KaburAjaDulu. Persoalan benar kabur atau tidak itu urusan lain, tapi itu bentuk ekspresi kekecewaan dan yang menjadi perhatian pemerintah," urainya.

"Kalau melihat secara gramatikal #KaburAjaDulu itu menegaskan bukan permanen, mungkin merasa ketidakpastian kondisi sehingga ingin pindah dulu, ketika suasana membaik dia akan kembali. Bukan pindah permanen. Itu mewakili keresahan publik terutama GenZ," tambahnya.

Ia menyebutkan saat ini PR pemerintah berkaitan dengan persoalan komunikasi publik. Bentuk ekspresi generasi muda malah ditanggapi dengan sinis dan antagonis. Pemerintah yang masih panjang harus mendengarkan masukan-masukan anak muda dan perlu melakukan perbaikan-perbaikan.

"Selain komunikasinya ke publik juga substansinya apa? Kenapa mereka kecewa? Atau jangan-jangan ini kegagalan pemerintah dalam menjelaskan terkait efisiensi. Padahal efisiensi ini banyak dilakukan di banyak negara. Bagaimana efisiensi itu ketika dijelaskan ke publik harus ada rasionalisasi yang kuat," ujarnya.

"Banyak negara melakukan hal itu dan Indonesia juga melakukan hal yang sama karena dirasa salah satu alasan pemerintah selama ini terlalu banyak anggaran yang tidak substansial," katanya.

Ia merasa bila menyampaikan dengan komunikasi seperti itu ke publik, justru masyarakat akan menerima. Misalnya, pemerintah melakukan efisiensi dalam rangka mengejar ketertinggalan dan anggaran lebih ke hal substansial, seperti pembangunan SDM atau program yang bisa lebih dirasakan masyarakat.

"Pemerintah harus menjelaskan soal logic efisiensi itu dalam rangka apa? Apa keuntungan yang bisa dirasakan. Saya rasa yang pertama soal komunikasi. Kedua pemerintah harus benar-benar membuktikan bahwa efisiensi ini mempunyai relevansi terhadap perkembangan peningkatan produktivitas masyarakat. Oleh karena itu wujud dari efisiensi itu apa? Programnya apa?" bebernya.

"Selain komunikasi juga program. Justru ada program baru. Salah satunya terlalu banyak perjalanan dinas, berarti bagaimana pola yang baru? Saya kira masyarakat kita akan menerima ketika pemerintah meyakinkan publik. Yang menjadi masalah pemerintah memberikan komunikasi yang sifatnya antagonis," pungkasnya.




(dpe/iwd)


Hide Ads