Kabupaten Sampang merupakan kabupaten di pesisir timur Pulau Madura, yang memiliki sejarah panjang yang kaya perjuangan dan perkembangan. Berikut ini jejak sejarah panjang Kabupaten Sampang.
Kabupaten Sampang memiliki luas 1.228,25 kilometer persegi. Kabupaten Sampang memiliki batas laut Jawa di utara, Kabupaten Pamekasan di timur, Kabupaten Bangkalan di barat, dan Selat Madura di selatan. Lantas, seperti apa jejak sejarah Kabupaten Sampang yang pernah dipimpin Pangeran Cakraningrat I?
Asal-usul Kabupaten Sampang
Dilansir dari laman Oreng Sampang, setelah Sultan Agung berhasil menguasai seluruh wilayah Mataram, Cakraningrat I diamanahkan untuk memimpin Pulau Madura dengan pusat pemerintahan di Sampang. Namun, ia sering kali tidak berada di Sampang karena Sultan Agung membutuhkan bantuannya di Mataram.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suatu ketika, ketika Cakraningrat I pulang dari Mataram, istrinya, Ratu Ibu, menceritakan pengalamannya seperti kedatangan Nabi Hidir yang menanyakan apa yang menjadi cita-citanya. Ratu Ibu menjawab bahwa ia berharap ketujuh keturunannya kelak dapat memimpin pemerintahan.
Namun, Cakraningrat I merasa tidak puas dengan jawaban itu, mengapa hanya ketujuh keturunannya yang disebutkan, bukan generasi selanjutnya. Ratu Ibu merasa menyesal dan melanjutkan doanya dengan air mata, hingga akhirnya ia meninggal dunia dan dimakamkan di tempat tersebut.
Cakraningrat I kemudian meninggal dunia di Mataram, akibat perselisihan dengan Pangeran Alit, yang berusaha membunuh kakaknya, Sunan Amangkurat I. Lalu, Cakraningrat II menggantikan ayahnya setelah Trunojoyo dikalahkan keraton dan dipindah dari Sampang ke Tonjung.
Sejarah Kabupaten Sampang
Pada masa itu, Madura terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Madura Timur dan Madura Barat, terutama setelah Perang Trunojoyo. Setelah Keraton Sampang dipindahkan ke Tonjung, pemerintahan Sampang dipimpin Raden Ario Purbonagoro, putra Cakraningrat II, yang kemudian digantikan putranya, Purbonagoro Ganta'.
Selanjutnya, Sampang berada di bawah kendali keturunan Purbonagoro yang dikenal dengan nama Ghung Purba. Makam Ghung Purba, yang terletak di selatan Perumahan Pegadaian Sampang, masih dihormati hingga kini.
Kemudian, Sampang dipimpin Raden Ario Mlojokusumo, seorang keturunan Bangkalan. Setelah itu, pada tahun 1885, Sampang berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda dengan Raden Ario Kusumadiningrat sebagai Bupati.
Setelah Kusumadiningrat wafat, posisi bupati digantikan Raden Tumenggung Ario Condronegoro, yang kemudian digantikan Raden Adipati Ario Setyodiningrat pada tahun 1913. Akhirnya, jabatan Bupati Sampang beralih ke Raden Adipati Ario Cakraningrat.
Sementara Raden Tumenggung Kartoamiprojo diangkat sebagai Bupati Pamekasan dengan gelar Adipati Ario Kartoamijoyo. Di Sampang, jabatan bupati selanjutnya diisi Raden Ario Sosro Winoto. Pada tahun 1931, setelah pensiun, status Sampang diubah menjadi Kawedanan.
Namun, pada 1949, Madura kembali dijadikan kabupaten, dengan Raden Tumenggung Mohammad Eksan diangkat sebagai bupati. Setelah Mohammad Eksan pensiun, Raden Soeharjo menggantikannya.
Dalam rangka pelaksanaan UU Pokok No 1 Tahun 1957, K H Achmad Zaini diangkat sebagai Kepala Daerah Tingkat II Sampang, hingga UU tersebut dibekukan dan digantikan Penpres No 6 Tahun 1959, yang menghapus dualisme kepemimpinan daerah.
Pada tahun 1960, M Wali Hadi terpilih sebagai Bupati Sampang melalui pencalonan DPRD-GR dan menjabat hingga 1965. Setelah pengunduran dirinya, R S Hafidz Soeroso B A dicalonkan DPRD-R dan diangkat pemerintah pusat sebagai penggantinya.
Pada zaman Majapahit, Sampang dipimpin seorang Kamituwo yang memiliki jabatan setara patih, sehingga menjadikannya sebuah kepatihan yang berdiri sendiri. Ketika Majapahit mulai mundur, Ario Lembu Peteng, putra Raja Majapahit dan puteri Campa, menguasai Sampang. Lembu Peteng akhirnya memondok di Ampel dan meninggal di sana.
Setelah itu, Kamituwo digantikan putra tertua Ario Menger, yang berpusat di Madekan. Ario Menger memiliki tiga putra, yaitu Ario Langgar, Ario Pratikel (yang tinggal di Pulau Gili Mandangil atau Pulau Kambing), dan Ario Panengah (gelar Pulang Jiwo), yang bertempat tinggal di Karangantang.
Kiyai Demang, anak Pratikel, setelah bertapa, bermimpi untuk pergi ke Desa Palakaran. Meskipun orang tuanya keberatan, ia tetap melanjutkan perjalanan dengan hidup sederhana, makan daun dan buah, serta tidur di hutan.
Dalam perjalanan, seorang perempuan tua memberinya bingkisan bunga nagasari dan menunjukkan arah ke Palakaran. Sesampainya di desa itu, Demang menikahi Nyi Sumekar dan mendirikan Keraton Kota Anjar. Mereka memiliki lima anak, yaitu Kiyahi Adipati Pranomo, Kiyahi Pratolo, Kiyahi Pratali, Pangeran Panagkan, dan Kiyahi Pragalbo.
Demang bermimpi Kiyahi Pragalbo akan menggantikannya. Pranomo kemudian tinggal di Sampang, menikah dengan puteri Wonorono dari Pamekasan, sehingga menyatukan kedua daerah tersebut.
Setelah Nugeroho (Bonorogo) memimpin Pamekasan, Sampang dan Pamekasan terpisah, masing-masing dipimpin Adipati Pamadekan dan Panembahan Ronggo Sukawati, putra Bonorogo.
Sampang kemudian dipimpin Pangeran Adipati Mertosari, cucu dari puteri Pramono, putra Pangeran Suhra Jamburingin. Dengan demikian, sebagaimana diramalkan, Kiyahi Demang benar-benar menurunkan banyak raja di Madura.
Artikel ini ditulis oleh Firtian Ramadhani, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(hil/irb)