Musibah datang tak kenal waktu dan situasi. Ini yang dirasakan 61 jiwa penghuni 'Gedung Setan' Surabaya. Rabu malam lalu sekitar pukul 17.30 WIB, atap gedung itu ambrol imbas hujan lebat disertai angin kencang.
Beruntung tidak ada korban saat kejadian. Namun 61 jiwa dari 20 KK itu harus diungsikan ke tempat yang lebih aman untuk sementara waktu. Sudah ada 8 KK atau 18 jiwa ikut keluarganya sedangkan 12 KK atau 43 jiwa masih berada di pengungsian.
Namun, bantuan permakanan tidak akan berlangsung lama. Hanya 7 hari terhitung sejak Kamis (19/12), bantuan akan dihentikan. Sementara, para penghuni Gedung Setan yang bertahan di pengungsian mengaku tidak memiliki tempat tinggal lain atau sanak saudara yang bisa menampung mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satunya adalah Sukmono Catur (41) yang sudah 15 tahun tinggal di gedung bekas kantor zaman Belanda tersebut. Istri dan ayah mertuanya adalah penghuni asli sejak lahir dan keturunan Tionghoa. Ia mengaku tak memiliki tempat tinggal lain selain di Gedung Setan.
"Setelah 7 hari nggak punya tempat tinggal lain bingung juga. Kalau nggak ada saudara mau tinggal di mana? Cari kos, kontrakan, juga nggak cepat," kata Sukmono saat ditemui detikJatim di pengungsian Balai RW 6, Banyu Urip Wetan, Jumat (19/12/2024).
Sukmono menceritakan beberapa tahun lalu ia sudah pernah mengajukan rumah susun. Namun rumah susun di Surabaya penuh dan harus waiting list cukup lama.
Kali ini dia berada pada kondisi yang sangat darurat setelah dapat musibah. Sukmono pun berharap Pemkot Surabaya bisa memberikan kemudahan tinggal di rumah susun. Karena hingga saat ini belum ada jawaban dari kelurahan apakah pemerintah akan membantu perbaikan atau tidak.
"Pihak kelurahan katanya akan bersurat ke Pemkot atau dinas terkait. Kami (penghuni Gedung Setan) di sini KTP Surabaya semua, bukan penduduk abal-abal, resmi. Harapan kami ada tempat yang layak," ujar pria yang juga Wakil Ketua RT 01, RW 06, Banyu Urip Wetan ini.
Ia sangat berharap kepada Pemkot Surabaya agar bisa membantu warganya setelah musibah ambruknya sebagian atap tempat tinggal mereka itu. Harapan itu terutama dia alamatkan kepada Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi.
"Kami tetap berusaha, minta tolong pihak terkait, bingung mau tinggal di mana. Kalau bisa minta tolong dari pihak Pemkot, bapak Wali Kota, Pak Eri bisa sedikit melihat kami di sini beberapa generasi. Banyak warga kami yang menjadi staff kampung, kader Surabaya Hebat. Minta tolong dari pihak pemkot bisa berikan kami warga Gedung Setan tempat layak," harapnya.
Dia tak ingin bila diperpanjang masa pengungsian di Balai RW dan Balai RT. Sukmono tidak ingin merepotkan beberapa pihak dan warga lainnya.
Diketahui, Gedung Setan adalah milik perorangan dan bukan aset Pemkot Surabaya. Gedung bergaya Eropa itu berdiri sejak abad ke-19 sebagai kantor Gubernur Jendral Daendels kemudian dijual dan beberapa tahun kemudian dibeli oleh dokter asal Tionghoa bernama dr Teng Sioe Hie.
Setelah masa peperangan, orang Tionghoa menempati gedung itu sebagai tempat tinggal dan beranak pinak hingga kini. Namun Gedung Setan hanya ditinggali oleh keturunan Tionghoa saja.
Sukmono menyebutkan dahulu sesepuh Gedung Setan diberi mandat memegang surat kuasa untuk menempati dan meninggali gedung itu dengan kamar dipetak-petakkan. Sistem tinggal di Gedung Setan tidak ada sewa bulanan atau tahunan, hanya membayar listrik dan air sesuai kebutuhan masing-masing.
"Sistemnya tempat tinggal turunan, tidak bisa tinggal kalau tidak ada turunan Tionghoa. Kalau nggak ada garis keturunan pertama nggak bisa masuk. Di sini murni warga asli Gedung Setan, ini sudah 5 generasi. Listrik air sendiri, ada meteran sendiri-sendiri," pungkasnya.
(dpe/iwd)