Saat itu, Rahman merupakan siswa salah satu SD di Surabaya. Rumahnya di Jambangan. Dia selalu bangun subuh dan bersiap-siap berangkat agar tidak sampai terlambat datang ke sekolah.
Jarak dari rumah Rahman ke sekolah ditempuh dengan sepeda kayuh kurang lebih 10-15 menit. Dia memilih berangkat pagi supaya bisa bersepeda dengan tidak tergopoh-gopoh.
Tapi kali itu berbeda. Tiba-tiba Rahman terbangun dari tidur dengan menggeragap. Dia melihat jam. Jarum pendek hampir menunjuk angka 4, sedangkan jarum panjang masih di angka 9. Dia sedikit lega.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebetulan ibunya, Susiawati masuk ke kamarnya. Rahman segera bertanya, 'belum azan ya?' Ibunya dengan spontan menjawab belum. Dia meminta dibangunkan jam setengah 5.
Bocah itu kembali memeluk guling dan segera tertidur. Sang ibu yang sedikit kebingungan berupaya menerka-nerka apa maksud anaknya hingga terbersit niatnya untuk sedikit jahil.
Tepat jam setengah 5 Susiawati masuk lagi ke kamar Rahman. Dia bangunkan putranya sesuai permintaan. Rahman bangun lagi dengan geragapan, mandi, salat, sarapan lalu siap-siap berangkat.
Yang tidak disadari Rahman, hari itu di akhir Mei 2004 adalah hari libur Kenaikan Isa Almasih dan dia terbangun sore pukul 16.00 WIB, lalu dibangunkan oleh ibunya tepat pukul 16.30 WIB.
Kamar Rahman memang cukup kedap cahaya. Satu-satunya jendela yang menghadap ke luar selalu tertutup gorden, dan dia sangat jarang menengok ke luar gorden tersebut.
"Bangunnya sore, ditungguin terus, dikira pagi padahal itu sore. Terus tidur sebentar minta dibangunkan jam setengah lima," kata Susiawati kepada detikJatim, Senin (21/10/2024).
Susiawati hanya tersenyum-senyum sendiri melihat Rahman geragapan tanpa menyadari bahwa dia terbangun sore hari dan sekolah juga sedang libur.
"Dia juga tidak sadar kalau hari itu sedang libur, lagi tanggal merah," imbuhnya.
Setelah tuntas sarapan Rahman bergegas mengenakan seragam SD, lengkap dengan dasi dan topinya. Susiawati pun sempat tak kuasa menahan tawa saat mengambilkan seragam sekolahnya.
Rahman sempat curiga, tetapi dia tidak terlalu menghiraukan mengapa ibunya tertawa.
"Saya sempat keceplosan ketawa, lalu ditanya 'Lapo to, Bu ngguyu ae? (Kenapa Bu kok ketawa saja?)'. Tapi saya bilang tidak ada apa-apa. Dia langsung pamit ambil sepeda dan berangkat," ujarnya.
Di luar, suasana menjelang maghrib itu memang mirip seperti pukul 06.00 WIB. Karena itulah Rahman tak curiga meski ada beberapa tetangga yang menegurnya.
"Padahal sudah ada tetangga yang tanya loh 'ate ning ndi? Kok budal yahmene. (Mau kemana? Kok berangkat jam segini)'. Jawabnya santai, 'sekolah'," tutur Susiawati.
Sekitar 20 menit kemudian, Susiawati melihat putranya itu pulang dan masuk rumah dengan terdiam. Sesekali dia menggerutu kepada ibunya.
"Pas sudah sampai sekolah, dia balik ke rumah lagi, lalu protes ke saya. 'Bu, lah saiki kan maghrib, duduk subuh, kok gak ngandani to ket mau? Saiki kan yo wayahe libur to! Ngene iki isin aku (Bu, sekarang kan maghrib, bukan pagi, kok tidak memberitahu saya dari tadi, sekarang kan juga libur tanggal merah, kan! Begini ini saya malu)," katanya menirukan gerutuan anaknya.
Susiawati dan keluarga Rahman lainnya sontak tertawa terbahak-bahak mengetahui fenomena yang tak biasa itu. Meski merasa kasihan, Susiawati mengapresiasi Rahman yang gigih dan semangat sekolah.
Demikian halnya warga di sekitar rumah Rahman yang sempat menertawakan bocah itu, baik saat berangkat maupun saat batang hidungnya terlihat masuk gang dengan muka cemberut mengayuh sepedanya.
"Sebenarnya ya kasihan, tapi saya lihat semangatnya berangkat sekolah saya nggak tega, saya biarkan saja. Ya meskipun pulangnya sama marah-marah," katanya.
Kemekel adalah rubrik khas detikJatim yang mengisahkan cerita lucu dan menggelitik. Kemekel tayang setiap Selasa. Tetap setia membaca konten-konten menarik di detikJatim!
(dpe/iwd)