Keributan kecil terjadi di parkiran sebuah kafe di Jalan Pemuda, Surabaya. Dini tampak bersitegang dengan seorang pria yang merupakan juru parkir (jukir) di kafe tersebut. Dini panik dan marah gegara motornya raib, padahal saat itu dia hendak meliput sebuah peristiwa.
"Loh sepedaku kok nggak onok, nang endi mas? (Loh motor saya kok tidak ada, di mana mas?)," kata wartawati salah satu media online bernama lengkap Ardini Pramitha (26) itu kepada sang jukir dengan ekspresi bingung campur kesal.
Apa yang terjadi kemudian justru membuat Dini menjadi bahan candaan teman-temannya sesama wartawan. Bahkan sang jukir yang sempat diomeli oleh Dini turut menertawakan dirinya. Duh tega banget motor hilang kok malah ditertawain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ceritanya, sore yang cerah cenderung gerah di Kota Pahlawan pada pertengahan Agustus 2024 itu, Dini dan teman-temannya baru saja menuntaskan peliputan tentang sejumlah isu terkait Pilwali hingga mewawancarai Eri Cahyadi di Balai Kota Surabaya.
Seperti biasa, setelah tuntas meliput dan menyusun fakta menjadi berita yang segera dikirim ke dapur redaksi masing-masing, sejumlah wartawan yang ngepos di Pemkot Surabaya memang kerap menghabiskan waktu ngobrol bareng.
Salah satu teman Dini pun mengajak mereka nongkrong di salah satu kafe langganan di Jalan Pemuda. Jadilah mereka berbondong-bondong menggeber motor berboncengan dari parkiran gedung press room Balai Kota Surabaya ke kafe yang dimaksud.
Di kafe itu, Dini tetap mengetik berita. Ada sejumlah isu yang telah dia konfirmasi ke Eri Cahyadi yang perlu segera dia susun menjadi naskah. Di tengah keseriusannya mengetik itulah dia mendapatkan informasi seorang lansia yang hidup sebatang kara ditemukan meninggal di rumahnya di Kalimas.
Tak ingin ketinggalan momen, Dini segera beranjak dari duduknya dan bermaksud segera ke TKP. Rekannya Khusnul Hasanah hendak turut serta dan mereka bersepakat naik satu motor saja. Motor Dini.
Momen ketika Dini keluar dari kafe bersama Khusnul itulah yang menjadi awal mula terjadinya keributan kecil di parkiran kafe. Dini mendapati motornya raib. Dia benar-benar panik sekaligus marah.
Dini yang terus mengomel sambil berupaya tetap mencari motornya nyaris memicu Khusnul untuk ikut memarahi sang jukir. Tapi dia berinisiatif masuk ke dalam kafe untuk meminta rekaman CCTV kepada pengelola kafe. Tapi sebelum itu, dia memberi tahu teman-temannya yang lain.
"He, wak, motore Dini nggak onok. Yoopo iki? (Hei, motornya Dini nggak ada. Gimana ini?)," kata Khusnul kepada 3 temannya yang masih duduk di kursi kafe sambil mengetik berita.
Widiyana, teman Dini tiba-tiba tertawa. Dia memberi tahu Khusnul sesuatu hal yang juga membuat Khusnul ikut tertawa. Setelah mendengar apa yang disampaikan Widiyana, Khusnul segera keluar kafe untuk menyusul Dini yang masih bingung mencari motor dan menyampaikan sebuah fakta.
Jadi, ketika mereka berangkat dari parkiran motor press room Balai Kota Surabaya, Dini tidak membawa motor. Dia membonceng motor Widiyana, sedangkan Khusnul datang belakangan setelah Dini dan Widiyana berada di kafe itu.
Dini pun tertegun setelah mendengar fakta yang dia dengar dari Khusnul. Seperti tersambar petir, dia terdiam sejenak hingga mendengar denyut jantungnya berdebar sementara ingatannya pelan-pelan kembali dan menyadari bahwa dirinya memang tidak membawa motor ke kafe itu.
Wartawati itu sontak tersadar dan segera masuk ke dalam kafe menghampiri 3 temannya. Pada saat yang sama sang jukir menyusul Dini untuk memastikan apakah motor yang dicari sudah ditemukan?
Dini yang benar-benar malu tak mampu menjawab pertanyaan sang jukir. Khusnul dan Widiyana yang kompak menjawab sang jukir bahwa Dini ternyata cuma lupa kalau dia nggak bawa motor ke kafe itu. Sungguh tega teman-temannya itu menertawai dirinya hingga menjadi perhatian pengunjung lain.
Karena tak mampu menahan malu, Dini meminta Khusnul segera menyiapkan motor agar mereka bisa meliput peristiwa temuan jenazah lansia di Kalimas. Dini pun mengaku sangat malu dengan jukir yang telah dia omeli.
"Wak aku isin wak. Jupuken sepedamu (Khusnul), aku isin. (Aku malu. Ambil motormu, aku malu)," ujar Dini sambil menutupi wajahnya karena malu. "Aku isin rek, kok isok aku lali. Aku isin ambek tukang parkire. (Aku malu rek, kok bisa aku lupa. Aku malu sama tukang prkirnya)."
Teman-temannya pun tak henti menertawai Dini yang bergegas keluar kafe dengan wajah tertunduk. Sang jukir pun tampak tak mampu menahan tawa begitu Dini melintas di hadapannya.
Kalau biasanya setelah liputan dia akan kembali mendatangi teman-temannya di kafe yang sama, kali ini Dini memilih mengetik berita temuan jenazah lansia itu di press room Balai Kota. Dia tak sanggup bertemu sang jukir kafe karena merasa benar-benar malu.
"Rek aku nggak balik Wantutu maneh yo, isin aku (Rek, aku nggak kembali ke kafe lagi ya, malu aku," ujar Dini melalui pesan grup WhatsApp.
Tentu balasan dari teman-temannya sesama wartawan itu bisa ditebak. Dua huruf konsonan yang ditulis berjajar cukup panjang, yang bila dibaca akan berbunyi seperti suara bebek.
(dpe/iwd)