Jejak kejayaan Pulau Jawa yang pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia pada 1870 hingga abad ke-19 masih bisa ditemukan di Surabaya. Sayangnya, pabrik gula Bagong di Jalan Sumatra yang menjadi bukti sejarah tersebut kini terbengkalai.
Pantauan detikJatim, bangunan yang merupakan bekas kantor pabrik gula Bagong itu masih berdiri megah. Warna putih bangunan berarsitektur khas kolonial itu sudah memudar. Kondisinya terbengkalai. Bangunan yang tertutup pagar berkarat itu sekitarnya telah ditumbuhi rumput liar yang meninggi.
"Pabrik gula Bagong didirikan oleh Notto Di Poero setelah mendapatkan konsesi pada tanggal 27 Februari 1832 di atas tanah negara yang dijual oleh Thomas Standford Raffles," ujar pegiat sejarah dari Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo kepada detikJatim, Kamis (12/9/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sekitar kawasan itu dulunya merupakan perkebunan tebu. Namun sejak dibangun kompleks perumahan di daerah Gubeng pada tahun 1926, pabrik itu pun tutup. Tidak diketahui secara pasti siapakah yang kini menjadi pemilik dari eks kantor pabrik gula Bagong itu.
"Bangunan itu tidak masuk aset pemerintah. Itu punya pihak swasta. Area sekitarnya yang dibangun perumahan juga sudah dibeli pihak pengembang," kata Kuncar.
Jejak pabrik gula Bagong ini menjadi salah satu saksi bahwa dulu di wilayah Surabaya banyak ditemukan pabrik gula dari skala kecil hingga industri. Hasilnya juga diekspor ke berbagai wilayah.
Selain pabrik gula Bagong, di Surabaya juga ada pabrik gula lain yang termasuk besar seperti di pabrik gula Ketabang yang berlokasi di sekitar Balai Kota saat ini, pabrik gula Darmo yang kini menjadi Masjid Al Falah, pabrik gula Ketintang, hingga pabrik gula Ngagel yang sekarang menjadi aset PTPN XII.
Banyaknya pabrik dan industri gula yang tumbuh pesat kala itu dipengaruhi oleh adanya kebijakan tanam paksa dengan salah satu komoditas yang harus ditanam adalah tebu.
(dpe/iwd)