Berbicara tentang potensi gempa bumi megathrust di pesisir selatan Jawa Timur, ada satu peristiwa yang bisa menjadi pengingat terkait dampak yang mungkin ditimbulkan dari sebuah bencana.
3 Juli 1994, bencana gempa bumi yang diikuti gelombang tsunami menghantam pesisir selatan Banyuwangi mengakibatkan ratusan orang menjadi korban. Bagaimana kronologis peristiwa? Apa yang perlu kita perhatikan dan pelajari dari peristiwa ini? Berikut ulasannya.
![]() |
Kronologis Gempa dan Tsunami Banyuwangi 1994
Peristiwa ini terjadi 30 tahun yang lalu atau tepatnya pada Jumat, 3 Juni 1994 pukul 01.17 WIB, terjadi gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,2 di lepas pantai selatan Jawa Timur. Pusat gempa dilaporkan berada sekitar 225 km selatan Malang dengan kedalaman sekitar 33 km.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun guncangan terbilang cukup kuat, masyarakat pesisir Banyuwangi yang menjadi saksi hidup peristiwa ini, tidak merasakan adanya guncangan. Laporan survei lapangan oleh ahli gempa asal Jepang juga menyebut hanya 10-20 persen warga yang merasakan guncangan gempa.
40 menit setelah guncangan gempa terjadi, tsunami besar melanda pesisir pantai. Tinggi tsunami dilaporkan mencapai 13,9 meter di Desa Rajegwesi, Banyuwangi. Panjang pantai yang dilanda tsunami dengan ketinggian melebihi empat meter mencapai sekitar 300 km.
Beberapa desa di pesisir selatan Jawa Timur rusak parah. Korban tewas mencapai 223 orang. Sebagian besar korban berasal dari di Dusun Pancer, Pantai Plengkung, dan Rajegwesi. Selain daerah Banyuwangi, kerusakan akibat tsunami juga dialami wilayah Jember, Lumajang, Malang, dan Blitar.
Dampak Gempa dan Tsunami Banyuwangi 1994
Bagi warga yang mengalami langsung, kejadian tsunami Banyuwangi masih jelas tertanam di ingatan. Hunian penduduk, toko, dan kapal-kapal nelayan yang bersandar hancur diterjang ombak, hanya tersisa puing-puing yang berserakan di sepanjang pantai.
Dalam sekejap, peristiwa yang terjadi pada Jumat Pon ini mengakibatkan ratusan orang meninggal. Korban selamat bersaksi dirinya bertahan di pohon kelapa atau bukit yang tinggi. Presiden Soeharto bersama Menteri Penerangan Harmoko meninjau langsung lokasi bencana dengan membawa bantuan.
Hingga saat ini, warga menjadikan Jumat Pon sebagai hari berdoa bersama. Nelayan setempat juga menjadikan hari Jumat Pon sebagai hari libur dari kegiatan melaut.
Tsunami Sunyi di Banyuwangi 1994
Fenomena tsunami yang tidak dibarengi dengan guncangan gempa yang kuat disebut sebagai tsunami senyap. Menurut pengamat, peristiwa ini bisa lebih mematikan karena menyebabkan masyarakat bisa salah persepsi, yang mengira bencana gempa relatif kecil sehingga tak akan diikuti gelombang tsunami.
Padahal, zona subduksi di Jawa dianggap rentan mengalami fenomena ini. Tahun 2006 misalnya, daerah Pangandaran, Jawa Barat juga mengalami fenomena ini. Sehingga, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan jika mendengar peringatan gempa.
![]() |
Mitigasi Risiko bencana
Berhadapan langsung dengan zona tumbukan lempengan Indo Australia dengan Eurasia, pesisir selatan Jawa akan selalu menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Terlebih rilis BMKG terbaru menyatakan gempa megathrust melanda Indonesia hanya tinggal menunggu Waktu.
BMKG menyebut, Seismic Gap Megathrust Selat Sunda berpotensi menghasilkan gempa hingga M 8.7, yang mampu menimbulkan gelombang tsunami dengan ketinggian 24-27 menit dengan perkiraan waktu tiba 24-27 menit setelah gempa.
Semakin padatnya pesisir selatan Pulau Jawa perlu diwaspadai masyarakat dan pemerintah setempat. Terutama terkait potensi bencana yang membayangi masyarakat di wilayah bencana.
Apalagi, ada segmen megathrust yang mengancam Jawa berdasarkan Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2017. Yaitu Megathrust Jateng-Jatim yang memiliki potensi magnitudo maksimum 8.9.
Megathrust Jateng-Jatim memiliki dimensi panjang 440 km dan lebar 200 km. Sementara pergeseran per tahun 4 cm. Catatan sejarah menunjukkan gempa M 7.2 terjadi pada 1916, dan M 7.8 tahun 1994.
(ihc/irb)