18 Tahun Tragedi Lumpur Lapindo: Ini Sejarah dan Kronologinya

18 Tahun Tragedi Lumpur Lapindo: Ini Sejarah dan Kronologinya

Albert Benjamin Febrian Purba - detikJatim
Rabu, 29 Mei 2024 11:17 WIB
Wisata Lumpur Lapindo
Lokasi lumpur Sidoarjo (Foto file: Suparno/detikJatim)
Surabaya -

Tepat 18 tahun lalu 29 Mei 2006, semburan lumpur panas Sidoarjo menggemparkan Indonesia. Bencana ini menenggelamkan desa-desa, merenggut mata pencaharian dan meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Sidoarjo, Jawa Timur. Selain itu peristiwa ini menewaskan 17 orang.

Hingga hari ini, semburan lumpur Lapindo belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Aliran lumpur panas ini telah meninggalkan jejak kerusakan yang luas dan berdampak signifikan pada kehidupan masyarakat di sekitarnya.

Hingga saat ini, penyebab pasti semburan lumpur masih menjadi perdebatan panjang di kalangan para ahli geologi. Berbagai teori telah diajukan, dari kesalahan prosedur pengeboran hingga gempa bumi yang mengguncang Yogyakarta dua hari sebelumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagaimana sejarah dan kronologi tragedi lumpur Sidoarjo atau yang dikenal juga lumpur Lapindo ini? Simak penjelasannya berikut ini.

Sejarah Tragedi Lumpur Lapindo

Keberadaan semburan lumpur Sidoarjo atau lumpur Lapindo merupakan sebuah peristiwa bersejarah yang telah melalui proses panjang sejak pertama kali terjadi pada tanggal 29 Mei 2006 dan hingga kini belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

ADVERTISEMENT

Dikutip dari laman Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo Kementerian PUPR, titik semburan lumpur ini berada di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, sekitar 200 meter dari sumur pengeboran gas Banjar Panji 1 milik PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kabupaten Sidoarjo.

Bencana ini diperkirakan berlangsung dalam jangka waktu yang lama, beberapa ahli geologi memperkirakan bahwa semburan ini bisa terus terjadi selama lebih dari 30 tahun.

Hal ini berbeda dengan bencana alam lainnya yang umumnya berlangsung dalam waktu singkat, seperti banjir yang biasa terjadi dalam hitungan hari atau minggu, tsunami dalam hitungan jam, longsor atau angin topan dalam hitungan menit, dan gempa bumi dalam hitungan detik.

Semburan lumpur panas dari pertambangan milik PT Lapindo Brantas ini telah menjadi bencana nasional pada tahun 2006. Ribuan masyarakat menjadi korban karena harus meninggalkan rumah mereka yang terdampak lumpur.

Semburan pertama lumpur Lapindo tersebut tepat dua hari setelah gempa bumi di Yogyakarta. Semburan lumpur panas tersebut kini telah membentuk sebuah kawah. Bencana Lumpur Lapindo mendorong pemerintah saat itu untuk turun tangan.

Lumpur Lapindo juga telah memakan korban sosial dan ekonomi. Tercatat, sebanyak 8 desa terdampak yang mencakup wilayah Kecamatan Jabon, Kecamatan Porong, dan Kecamatan Tanggulangin.


Kronologi Tragedi Lumpur Lapindo

- 18 Mei 2006: PT Lapindo Brantas diperingatkan soal pengeboran yang mencapai kedalaman 8.500 kaki. Pada saat itu, rekanan Lapindo Brantas, yaitu PT Medco Energi, mengingatkan pentingnya pemasangan casing atau pipa selubung sebelum melakukan pengeboran.

- 29 Mei 2006: Semburan lumpur mulai muncul dari Sumur Banjar Panji 1 di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai bagian dari kegiatan pengeboran eksplorasi gas Blok Brantas milik PT Lapindo Brantas.

- 13 Juni 2006: Ruas jalan tol Surabaya-Gempol ditutup akibat terjangan semburan lumpur Lapindo yang terus berlanjut tanpa henti.

- 10 Agustus 2006: Sebuah tanggul dibangun untuk menahan aliran lumpur Lapindo agar tidak memasuki permukiman warga jebol. Ini bukan satu-satunya tanggul yang mengalami kerusakan.

- 18 April 2007: Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Pada saat yang sama, Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo juga dibentuk.

- Tahun 2008: Semburan lumpur Lapindo terus berlangsung dengan volume mencapai 100 ribu meter kubik per hari.

- Tahun 2010: Untuk menangani semburan lumpur, opsi yang diambil adalah mengalirkan lumpur ke tanggul dan Kali Porong.

- Juli 2015: Pemerintah meminjamkan dana sebesar Rp 773,38 miliar kepada Lapindo untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan yang terdampak. Grup Bakrie diwajibkan mengembalikan dana talangan tersebut paling lambat dalam 4 tahun atau pada Juli 2019 dengan bunga 4,8% per tahun dari jumlah pinjaman.

- Maret 2019: Hingga tahun 2019, pelunasan utang Lapindo kepada pemerintah belum mencapai 10 persen dari total dana talangan yang telah diberikan sejak 2015.

- 19 Juni 2019: Lapindo mengajukan permohonan untuk membayar utang sebesar Rp 773,38 miliar kepada pemerintah dengan menggunakan piutang senilai Rp 1,9 triliun.

Karakteristik Lumpur pada Lumpur Lapindo

Dilansir dari sumber yang sama, adapun sejumlah karakteristik lumpur yang menyembur di Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo itu, sebagai berikut:

- Suhu lumpur di permukaan dekat pusat semburan mencapai 100°C, dengan komposisi padatan dan air masing-masing 60% dan 40%, membuat lumpur tersebut sangat kental.
- Kekentalan lumpur yang tinggi menyebabkan pergerakannya sangat lambat dan sulit bergerak secara gravitasi.
- Semburan lumpur di Sidoarjo disertai dengan deformasi geologi yang aktif di sekitar lokasi semburan.
- Para ahli geologi berpendapat bahwa lumpur di Sidoarjo, atau yang dikenal sebagai lumpur Lapindo, merupakan fenomena gunung lumpur (mud volcano) yang berkaitan dengan aktivitas vulkanisme. Fenomena ini belum dapat diprediksi kapan akan berhenti.

Demikian sejarah dan kronologi tragedi lumpur Lapindo yang hingga kini masih menjadi perhatian besar. Peristiwa ini tidak hanya menimbulkan dampak fisik yang luar biasa, tetapi juga membawa konsekuensi sosial dan ekonomi yang signifikan bagi masyarakat terdampak.


Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads