Kelas BPJS Diganti KRIS, Begini Tanggapan Pakar Kesehatan Masyarakat Unair

Kelas BPJS Diganti KRIS, Begini Tanggapan Pakar Kesehatan Masyarakat Unair

Esti Widiyana - detikJatim
Rabu, 15 Mei 2024 09:50 WIB
BPJS Kesehatan
Ilustrasi BPJS Kesehatan/Foto: BPJS Kesehatan
Surabaya -

BPJS Kesehatan resmi memberlakukan pergantian kelas 1, 2 dan 3 dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada Juni 2025. Dengan kebijakan ini, semua golongan masyarakat mendapat pelayanan sama dari rumah sakit (RS), baik medis maupun non medis.

Pakar Public Health, Health Policy and Administration Universitas Airlangga (Unair) Dr Dzajuli Chalidyanto SKM MARS menyebut, kebijakan pergantian kelas BPJS menjadi KRIS itu baik. Namun, ada banyak PR yang harus dituntaskan pemerintah pusat sebelum benar-benar diterapkan tahun 2025.

Ia berpendapat, perjalanan BPJS berawal dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yakni asuransi sosial yang mengedepankan keadilan pelayanan kesehatan egalitarian. Artinya, penduduk membayar sesuai kemampuannya dan mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Menurut saya ini kebijakan yang baik. Baik artinya sesuai dengan asuransi sosial sebagai landasan utama JKN. Ini juga akan mempercepat tercapainya tujuan akhir UHC, pelayanan kesehatan berkualitas dan pelayanan kesehatan terjangkau," kata Djazuli saat dihubungi detikJatim, Selasa (14/5/2024).

Keuntungan dan Kerugian Kebijakan KRIS

Keuntungan dari kebijakan baru ini ialah sesuai dengan tujuan JKN sebagai asuransi sosial. Yaitu pelayanan kesehatan yang adil, berkualitas dan terjangkau.

ADVERTISEMENT

"Selain itu, keuntungan secara administrasi pengelolaan, pengelolaan KRIS pasti jauh lebih efisien dibandingkan dengan adanya kelas perawatan," ujarnya.

"Kerugiannya, mungkin terkait dengan kesiapan fasilitas kesehatan saja, RS dan tenaga kesehatan," tambahnya.

Tugas Pemerintah ke Pemegang BPJS Kesehatan

Djazuli menyebut, munculnya kebijakan ini pasti dibarengi dengan banyak persepsi di masyarakat. Seperti kebingungan dengan adanya perubahan.

Namun, dengan kebijakan baru ini, BPJS Kesehatan akan bekerja sama dengan RS untuk memenuhi sekitar 12 standar. Tentunya, untuk menyamakan kualitas pelayanan kesehatan, baik di Pulau Jawa atau luar pulau lainnya.

"Kalau sekarang, contohnya RS kelas 2 di Jawa dibandingkan dengan kelas 2 di Kalimantan saja sudah beda. Padahal mereka membayar iuran yang sama, tapi kelas 2 di Jawa lebih baik dibandingkan kelas 2 di Kalimantan," jelasnya.

Baginya, kesulitannya ada di pihak RS untuk bisa memenuhi standarisasi itu. Namun, saat ini kebijakan sedang diuji coba ke 10 RS, hasilnya akan dilihat apakah RS bisa menyesuaikan atau tidak.

PR Pemerintah Mengganti Kelas 1, 2 dan 3 ke KRIS

Dosen Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyatakat (FKM) Unair ini membeberkan sejumlah PR pemerintah pusat terkait pergantian kelas BPJS Kesehatan menjadi KRIS. Yakni sosialisasi kepada masyarakat, terutama kepada pemberi layanan atau RS.

"Sosialisasi ke masyarakat penting. Karena KRIS ini sudah lama, saya beberapa kali ikut rapat dengan Kemenkes dan BPJS sejak pandemi. RS sudah mulai terpapar, yang belum masyarakat. Sekarang harus disampaikan ke masyarakat. Menurus saya pribadi, kebijakan ini menuju arah lebih baik, karena peserta JKN mendapat fasilitas standar, berkualitas," ujarnya.

Ia mengatakan, ada peluang masyarakat berkemampuan lebih bisa naik kelas, contohnya peserta JKN yang tidak mau dirawat di kelas standar dan mau naik ke kelas 2 atau VIP.

"Ini juga menangkap segmen orang-orang berlebihan ingin memanfaatkan fasilitas ini juga," katanya.

Masalah Kebijakan Baru

Dia memprediksi, akan ada masalah ketika kebijakan baru ini diterapkan. Apalagi tahun 2025 akan ada perubahan iuran, tidak ada kelas 1, 2 dan 3.

"Nanti ada problem di situ. Karena pemerintah akan berhitung. Misalnya iuran mencapai Rp 100 ribu, pertanyaannya apakah pemerintah mampu membiayai orang tidak mampu," ujarnya.

Menurutnya, penetapan besaran iuran juga penting. Seberapa besar iuran yang ditetapkan BPJS Kesehatan dan Kemenkes, lalu seberapa besar kekuatan pemerintah membiayai orang tidak mampu.




(hil/fat)


Hide Ads