Para santri di Desa Pulorejo, Dawarblandong, Mojokerto punya cara seru untuk mengisi waktu senggang sambil menanti makan sahur. Yaitu dengan bermain sepakbola api. Mereka tak takut panas sebab lebih dulu melantunkan doa.
Permainan sepakbola api ini bukan kaleng-kaleng serunya. Karena bolanya menggunakan kelapa tua dan kering yang direndam minyak tanah selama 12 jam. Sehingga ketika dibakar, api bisa menyala lebih lama meskipun berulang kali ditendang dan dilempar.
Setelah berlatih bela diri, 10 santri Ponpes Al Hidayah bersiap memainkan sepakbola api. Mereka bergabung dengan 10 pendekar yang sama-sama dari perguruan Pagar Nusa. Begitu bola api menyala, permainan pun dimulai. Para santriwati tak mau ketinggalan merasakan keseruannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Seru, panas, tapi tak terasa panas karena kami bermain ramai-ramai. Kami juga mainnya pelan-pelan, tidak tergesa-gesa supaya tidak kena apinya," ujar Ahmad Hamim Muslih (22), peserta sepakbola api kepada wartawan di lokasi, Jumat (29/3/2024).
Permainan kian seru saat kedua tim saling menyerang. Mereka tak ragu menendang bola api itu untuk diumpankan kepada rekan satu tim. Tujuan mereka satu, memasukkan bola api ke gawang kecil yang tiangnya digantikan dengan paving.
Bahkan, mereka tak segan memegang, lalu melempar bola api kepada rekan setim. Bara dari bola api memercik berulang kali setiap kaki para pemain menendangnya. Sedangkan para pesilat senior tampak mengawasi dari pinggir arena yang menempati halaman Ponpes Al Hidayah.
![]() |
Hamim mengaku sudah 3 kali Ramadan mengikuti permainan sepakbola api di Pones Al Hidayah. Ia tak merasakan panas setiap menendang bola api tersebut. Selain berbekal keberanian, pesilat asal Desa Sumberwuluh, Dawarblandong ini juga lebih dulu melantunkan doa-doa sebelum mengikuti permainan.
"Yang penting mentalnya berani karena yang kami mainkan bola api. Setiap membuka latihan, kami berdoa lebih dulu, lalu tawasul kepada pendiri dan sesepuh Pagar Nusa. Doa itu juga ada untuk main sepakbola api supaya tidak terasa panas," terangnya.
Sepakbola api baru berakhir tengah malam saat bola api benar-benar padam. Menurut Hamim, permainan ini digelar setiap Sabtu malam Minggu selama Ramadan. Para pemainnya merupakan pesilat Pagar Nusa yang sudah mempunyai sabuk hijau kecil, sabuk hijau besar, dan sabuk putih. Usia mereka 15-25 tahun.
"Permainan ini untuk mempererat persaudaraan, kekeluargaan di Pagar Nusa juga untuk menunggu sahur," jelasnya.
Pengasuh Ponpes Al Hidayah Akmaluni Amillah Basyaiban (27) menuturkan, permainan sepakbola api sudah berjalan lima tahun hanya selama bulan Ramadan. Ia menilai permainan ini sebagai kegiatan positif. Sebab, mampu menguatkan solidaritas para santri sekaligus mencegah mereka keluyuran saat akhir pekan.
"Sebenarnya ini ide dari teman-teman sendiri untuk mengisi kegiatan Ramadan agar tidak keluyuran. Akhirnya bikin sepakbola api," ungkapnya.
Akmaluni menambahkan, selama ini tidak ada santri yang mengalami cedera serius karena memainkan sepakbola api. Menurutnya, permainan ini sama halnya dengan atraksi yang sering ditampilkan para pesilat Pagar Nusa. Para pemain tidak dibekali ilmu kebal, tapi sebatas doa-doa.
"Para senior menjaga jangan sampai mencederai para pemain. Cukup tawasul kepada pendiri Pagar Nusa, para guru, sehingga dijaga agar tak terjadi yang tidak diinginkan," tandasnya.
(irb/dte)