Bertugas sebagai polisi di bagian lalu lintas, tidak membuat Briptu Luhur Ainul Fikri kehabisan akal untuk menyalurkan bakat keseniannya. Di tengah kesibukannya, dia masih menyempatkan waktu untuk mengajar gamelan Reog di Panti Asuhan Tunanetra Aisyiyah Ponorogo.
Pria berusia 29 tahun itu mengisahkan awal karirnya di dunia seni Reog. Bermula dari tahun 2006 saat dia kelas 6 SD, Luhur ada ujian menari untuk kelulusan. Lalu masuk SMP, mulai ikut seleksi Festival Reog Mini sebagai penari warok.
"Saya masuk jadi penari warok, dari 100 menjadi 10 orang mewakili Kecamatan Kauman," terang Luhur kepada detikJatim, Minggu (17/3/2024).
Suami dari Aldona Putri itu mengaku terus berlatih agar bisa masuk ke Festival Reog Mini. Karena dulu ada seleksi ketat. Akhirnya tahun 2007, tim dari Kecamatan Kauman mendapat juara 3. Dari situlah, job sebagai penari warok sering Luhur dapatkan.
"Sering dapat job penari, dipanggil biasanya. Nari di mana-mana gitu," jelas Luhur.
Tahun 2008, akhirnya keinginan pria kelahiran tahun 1995 itu masuk ke Festival Reog Nasional tercapai. Dia mewakili Kecamatan Kauman. Sebagai penari warok. Lanjut, tahun 2009 dia menjadi penari Kelono Sewandono di Pacitan sebagai perwakilan pramuka dari Ponorogo.
"Kalau sudah jadi penari Kelono Sewandono, dipastikan bisa nari semua, warok, bujang ganong, warok tua, jathil," kata Luhur.
Lanjut tahun 2010, dia diajak salah satu sanggar untuk mewakili Kecamatan Ponorogo ke Festival Reog Nasional sebagai penari warok. Saat itu, timnya menjadi juara pertama. Tahun 2011, saat masuk di SMA Muhammadiyah Ponorogo, dia sering mendapat panggilan untuk menari warok dan kelono sewandono.
"Tahun 2012, saya jadi ketua Reog di SMA Muhipo. Saat itu tim kami masuk peringkat 6 besar di Festival Reog Nasional," ujar Luhur.
Tahun 2013, jadi salah satu perwakilan dari Ponorogo di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur sebagai penari terbaik diambil 20 peserta. Tahun 2014 sempat masuk Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Masuk selama satu semester, lalu disuruh ibunya untuk mencoba mendaftar polisi.
"Tahun 2014 saya gagal jadi bintara polisi, akhirnya menganggur. Tapi sama pak Sugeng, Kepala Sekolah SMA Muhipo saya ditawari mengajar ekstrakurikuler Reog selama satu tahun," papar Luhur.
Selama satu tahun dari 2014 ke 2015, Luhur pun melakukan tirakat demi bisa menjadi bintara polisi di sela kesibukannya mengajar ekstrakurikuler Reog. Mulai dari puasa Senin-Kamis, les berbagai mata pelajaran juga tes fisik.
Akhirnya tahun 2015, dia berhasil masuk sebagai salah satu bintara polisi. Saat itu, se-Jatim yang mendaftar ada 20 ribu peserta, Luhur mendapat peringkat 45. Dari Polres Ponorogo, Luhur mendapat peringkat pertama.
"Akhirnya ada 1.005 orang yang diterima menjadi polisi dan menjalani pendidikan di Mojokerto. Saat itu, ada yang menarik saat mau ada penampilan Reog, saya boleh megang HP. Karena untuk koordinasi dengan orang Ponorogo, untuk wiro sworo, penari dan lain-lain, karena saya juga yang melatih mereka," imbuh Luhur.
Luhur sendiri sebenarnya tidak punya dasar di kesenian Reog. Namun karena ketekunannya, dia belajar mandiri untuk bisa mengajar Reog dengan apik. Semua bagian dari seni Reog dia harus kuasai.
(abq/fat)