Diva Indonesia Kris Dayanti gagal kembali ke Senayan. Petahana yang maju dari PDIP ini harus berlapang dada usai tak mendapat kursi DPR RI di Pileg 2024. Pengamat politik membeberkan sederet faktor yang membuat Kris Dayanti gagal jadi anggota DPR RI lagi.
Diketahui, pada Pemilu 2024 ini Kris Dayanti harus puas mengantongi 70.111 suara. Suaranya tak mampu mendongkrak suara PDIP yang menyusut dari tiga kursi, menjadi dua kursi.
Suara Kris Dayanti ini jauh menyusut dibanding Pileg 2019 yang kala itu Kris Dayanti meraup 86.722 suara. Saat itu, Kris Dayanti menjadi caleg dengan perolehan tertinggi di Dapil Jatim V yang meliputi Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat sekaligus Dosen Komunikasi Politik UB Dr Verdy Firmantoro menilai, ada tiga faktor yang menyebabkan Kris Dayanti gagal mencoba peruntungan dalam dunia politik kali ini.
"Secara umum sebenarnya Kris Dayanti ini tidak lolos karena konsolidasi pertarungan politik di lapangan di last minute ini kurang memaksimalkan 3 faktor, yaitu pertama mesin parpol, kedua figur, dan terakhir modal sosial," terang Verdy, Selasa (12/3/2024)
"Jadi kalau kita bicara masalah mesin parpol memang PDIP ini sepertinya cukup kuat, tetapi seharusnya memang harus jalan dengan penetrasi figur dan modal sosial, jadi meskipun mesin parpol jalan tetapi figurnya tidak secara khusus menampakkan kemudian secara modal sosial tidak diaktivasi jaringannya ya mesin parpol tidak berjalan maksimal. Maka dari itu sepertinya kegagalan KD karena 3 hal ini belum terkoneksi satu sama lain," imbuhnya.
Verdy mengatakan, fenomena ini juga menunjukkan bahwa popularitas semata tidak cukup untuk memenangkan hati konstituen.
"Mungkin memang secara figur KD ini populer tetapi secara pertarungan politik tidak hanya masalah popularitas tetapi bagaimana kemudian mengaktivasi seluruh elemen dan sumber daya itu menjadi hal yang penting untuk menjadi pertimbangan," jelasnya.
Tak hanya itu, ia juga menganggap kegagalan Kris Dayanti dalam pemilihan legislatif kali ini juga akibat adanya pengaruh kemenangan Prabowo dan Gibran.
"Misal kita analisis dari partai Gerindra itu sangat strategis menempatkan figur-figur yang terpilih ya. Mereka punya kekuatan besar ketika Gerindra dalam hal ini diuntungkan oleh figur Prabowo yang kemudian tidak dimiliki oleh partai lain," kata Verdy.
"Bisa jadi suara PDIP itu berkurang karena digeser oleh Gerindra dan PKS ini saya kira karena kedua partai itu memang cukup rasional dalam melakukan penetrasi sehingga suara parpol lain itu bisa berkurang," tambahnya.
Senada, pengamat politik UB Prof Anang Sujoko menilai, kegagalan figur Kris Dayanti dalam pileg kali ini disebabkan karena Sang Diva kurang merawat konstituennya. Ia jarang turun gunung langsung ke Malang Raya.
"Menurut saya, KD tidak bisa merawat konstituennya dalam jangka 5 tahun dia menjabat sebagai anggota parlemen dan kemudian dia juga tidak melakukan inovasi-inovasi pendekatan kemasyarakatan yang itu seharusnya dia berkaca kepada siapa saja kompetitornya," kata Anang.
Dekan FISIP UB ini menambahkan, memiliki basis penggemar saja tak cukup untuk mendongkrak suara Kris Dayanti. Sebab, keterlibatan dalam isu-isu kemasyarakatan terbukti lebih penting dalam memenangkan kepercayaan dan dukungan pemilih.
"Jadi memang diperlukan pendekatan yang inovatif dan kreatif dalam rangka untuk membaca siapa saja kompetitornya. Misal kita lihat seperti Moreno (Soeprapto), itu kan masih merawat konstituen kunci yang itu kemudian bisa menjaga konstituen di bawahnya," jelasnya.
(hil/dte)