Psikolog Sebut KDRT Semakin Parah gegara Korban Memaafkan dan Tidak Speak Up

Psikolog Sebut KDRT Semakin Parah gegara Korban Memaafkan dan Tidak Speak Up

Esti Widiyana - detikJatim
Kamis, 04 Jan 2024 23:30 WIB
James, sang pembunuh dan pemutilasi istrinya
James saat di Polresta Malang Kota (Foto: M Bagus Ibrahim/detikJatim)
Surabaya -

KDRT saat ini marak terjadi, bahkan tak sedikit korban memilih bertahan karena ada anak. Cenderung memaafkan dan tidak speak up bisa membuat kekerasan semakin parah bila tak ada kesadaran diri.

Tindakan KDRT ini bila dibiarkan terus menerus, bisa berdampak buruk bagi korban. Bahkan hal yang paling keji sampai membunuh hingga mutilasi.

Seperti kasus James Loodewky Tomatala (61), warga Kota Malang dengan sadis membunuh dan memutilasi istrinya Ni Made Sutarini (55). Istrinya dibunuh pada Sabtu (30/12/2023) dan dimutilasi menjadi 10 bagian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Psikolog, Praktisi Perlindungan Perempuan dan Anak Jatim Riza Wahyuni SpSi MSi mengatakan fenomena KDRT disebut fase kekerasan. Di mana kekerasan terjadi pada awal pernikahan, bahkan ada yang sebelum perkawinan tetapi pelaku minta maaf dan cenderung dimaafkan.

"Biasanya perempuan cenderung memaafkan, sampai menikah, kekerasan lebih intensif. Intensif bisa saja pada masa kehamilan muncul kekerasan aslinya, memukul, intimidasi, merendahkan dan sebagainya. Tapi pelaku akan kembali meminta maaf," kata Riza saat dihubungi detikJatim, Kamis (4/1/2024).

ADVERTISEMENT

Kemudian, kekerasan masih terus terjadi hingga telah memiliki anak. Maka korban lebih memilih memaafkan dan menjalani kehidupan kembali.

"Masuk fase honey moon, perempuan cenderung memaafkan bagaimanapun dia suamiku, ada anak, baik dalam kandungan maupun sudah dilahirkan, yang penting dia sudah minta maaf dan memulai hidup baru," jelasnya.

Lalu ketika ada masalah, kekerasan terjadi lagi dan lebih parah. Semula intimidasi beralih ke pemukulan, awalnya menampar merambah memukul fisik lain.

"Pelaku biasanya minta maaf, alasan khilaf. Biasanya perempuan cenderung memaafkan. Perempuan cenderung tidak ingin anak merasa status orang tua bercerai. Kita melihat status sosial," ujar praktisi psikolog klinis dan forensik Surabaya ini.

Menurut Riza, ada hal yang dilupakan masyarakat, dinamika kekerasan di dalam rumah tangga cenderung dipelajari anak. Ketika anak mendapatkan ketidaknyamanan di dalam rumah seperti melihat kekerasan dalam keluarga bisa memberikan dampak buruk. Anak yang memiliki masalah akan meluapkan rasa emosi dan kecewanya di luar rumah.

Akhirnya, ketika diluapkan di luar rumah, anak bisa menjadi anak yang bermasalah karena tidak dapat mengekspresikan perasaannya di dalam rumah. Anak pun bisa menjadi pem-bully hingga pelaku kekerasan.

"Status sosial (cerai) masih dianggap rendah di masyarakat, padahal orang tidak pernah tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga. Itu yang membuat bertahan, mengalah. Tidak ada pelaku KDRT yang bisa berubah selama dia tidak menyadari bahwa dia bermasalah" urainya.

Riza menegaskan dalam KDRT, tidak hanya istri saja yang menjadi korban, namun suami juga. Meski memang lebih banyak yang menjadi korban adalah istri, karena perempuan merupakan kelompok rentan dan korban lain adalah anak.

Riza pun mengajak masyarakat untuk bersama-sama menjadi pendengar untuk membantu keluarga lain. Tujuannya untuk mengantisipasi KDRT, baik pasangan maupun orang tua terhadap anak.

"Orang tua yang justru pelaku KDRT baik kekerasan fisik maupun seksual, berapa banyak ayah menyetubuhi anak, ibu menyiksa anak. Para perempuan, anak ketika terjadi kekerasan di sekitar kita jangan diam, harus berani bicara, menolak, minta tolong. Dinamika kekerasan sekarang cukup kompleks, perilaku kekerasan juga didukung informasi di media sosial. Masyarakat mudah mengakses di media sosial yang ditelan mentah-mentah dan bisa memengaruhi perilaku kita," pungkasnya.




(esw/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads