3 Struktur Teks Laporan Hasil Observasi

3 Struktur Teks Laporan Hasil Observasi

Nabila Meidy Sugita - detikJatim
Senin, 04 Des 2023 15:31 WIB
ilustrasi komputer
ilustrasi menyusun teks laporan hasil observasi/Foto: unsplash
Surabaya -

Teks laporan hasil observasi merupakan penjabaran umum mengenai objek tertentu berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan. Observasi atau pengamatan ini dilakukan untuk mengamati terkait tingkah laku, situasi, keadaan, serta kondisi dari objek yang diamati.

Dalam repository Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga diterangkan bahwa teks laporan hasil observasi merupakan teks yang memuat laporan terkait hasil pengamatan (observasi) yang telah dilakukan. Teks laporan ini juga kerap disebut sebagai teks klasifikasi. Pasalnya, teks ini juga berisi klasifikasi mengenai jenis-jenis hal tertentu.

Lantas, bagaimana dengan struktur dan ciri teks laporan hasil observasi? Berikut ini uraiannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Struktur Teks Laporan Hasil Observasi:

Dikutip repository Universitas Negeri Semarang, ada tiga bagian dalam menyusun teks laporan hasil observasi.

1. Definisi Umum

Bagian ini berisi tentang pernyataan umum terkait dengan objek yang diteliti. Bagian definisi umum mencakup definisi dari pokok bahasan dan klasifikasi umum berdasarkan persamaan dan perbedaan. Klasifikasi umum ini dapat berupa fenomena yang akan dibahas secara umum.

2.Deskripsi Bagian

Deskripsi bagian ini mencakup paragraf tentang objek laporan. Adapun paragraf terdiri dari kalimat utama (topik pembahasan) dan diikuti kalimat selanjutnya yang merinci kalimat utama tersebut. Selain itu, bagian ini juga berisi tentang deskripsi pokok bahasan laporan.

ADVERTISEMENT

3. Simpulan

Simpulan merupakan bagian akhir dari teks laporan hasil observasi. Bagian ini memuat ringkasan dari laporan hasil observasi. Selain itu, bagian simpulan juga mencakup manfaat dari topik yang dibahas.

Ciri-ciri Teks Laporan Hasil Observasi:

  1. Bersifat objektif dan universal.
  2. Objek yang dibahas ialah objek tunggal.
  3. Ditulis secara lengkap dan sempurna.
  4. Ditulis berdasarkan fakta temuan dari hasil pengamatan yang telah dilakukan.
  5. Tidak mengandung dugaan yang menyimpang atau tidak tepat.
  6. Informasi dari teks laporan hasil observasi sudah dibuktikan kebenarannya.
  7. Saling berkaitan dengan hubungan antara kelas dan subkelas yang termuat di dalamnya.

Ciri Kebahasaan Teks Laporan Hasil Observasi

  1. Menggunakan frasa nomina (kata benda) yang diikuti dengan klasifikasi dan deskripsi.
  2. Menggunakan kata kerja relasional, seperti merupakan, ialah, termasuk, meliputi, terdiri atas, disebut, dan lain sebagainya.
  3. Menggunakan verba aktif untuk menjelaskan perilaku, seperti makan, hidup, tidur, olah, tambah, dan lain sebagainya.
  4. Menggunakan kata penghubung yang menyatakan tambahan (dan, serta), perbedaan (berbeda dengan), persamaan (sebagaimana, seperti halnya, demikian halnya, sebagai, hal yang sama, hal demikian), pertentangan (sedangkan, tetapi, namun, melainkan, sementara itu, padahal berbanding terbalik, dan pilihan (atau).
  5. Menggunakan paragraf dengan kalimat utama berupa pernyataan atau informasi pertama. Kemudian kalimat berikutnya diikuti dengan aspek yang hendak dilaporkan dalam paragraf.
  6. Menggunakan kata keilmuwan atau teknik, seperti herbivore, degeneratif, phobia, sindrom, leukemia, pembuluh vena, dan lain sebagainya.
ilustrasi komputerIlustrasi menyusun teks laporan hasil observasi/ Foto: unsplash

Contoh Teks Laporan Hasil Observasi:

Burung Gereja

Burung Gereja disebut juga burung Pingai adalah jenis burung pipit kecil yang berasal dari keluarga Passeridae. Burung Gereja mendiami kota-kota dalam jumlah yang sangat besar. Burung Gereja yang disebut juga Sparrow merupakan burung yang jinak dari semua burung liar, dan memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap lingkungannya seperti perubahan kondisi cuaca, ketersediaan pakan maupun predator.

Oleh karena itu, Burung Gereja dianggap sebagai burung yang tidak takut di dekat manusia atau disebut human
dominated ecosystem. Di Indonesia mungkin sering dijumpai di bawah atap gereja, hingga disebut Burung Gereja.

Berikut ini akan dijelaskan karakteristik, cara berkembang biak dan mitos tentang Burung Gereja.

Burung Gereja memiliki panjang 10-15 cm, bentangan lebar sayap sekitar 21 cm, berat sekitar 24 gram. Burung ini mempunyai warna dominan coklat dan sedikit warna hitam putih pada masing-masing pipinya.

Tidak ada perbedaan warna antara jantan dan betinanya. Untuk burung-burung yang lebih muda mempunyai warna
yang lebih kusam daripada yang dewasa.

Burung Gereja memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memakan biji-bijian dan serangga. Mereka sangat menyukai area pertanian dan peternakan. Hal ini karena banyaknya sumber penganan burung tersebut pada lokasi-lokasi di atas.

Masa perkawinan dimulai dengan reaksi Burung Gereja jantan dalam menawarkan sarang yang telah ia buat. Memamerkan sarang tersebut untuk menarik perhatian betina.

Sang jantan akan terus bercicit di sekitar betina sambil memamerkan tarian-tarian unik dengan membuka sayap. Namun tak semua trik tersebut disukai oleh sang betina, kadang justru timbul pertarungan antarkeduanya jika sang betina sedang tak ingin diganggu. Sebaliknya jika merasa puas dan nyaman, maka sepasang Burung Gereja tersebut akan melakukan perkawinan.

Burung Gereja mencapai tingkat kematangan untuk berkembang biak satu tahun dihitung dari saat dia menetas. Telur yang dihasilkan sekitar lima sampai enam telur di Eropa (dan jarang lebih dari empat di Indonesia).

Telur berwarna putih hingga abu-abu pucat serta mempunyai bintik-bintik atau bercak-bercak kecil dengan diameter sekitar 2cm. Telur dierami oleh kedua orang tua selama 12-13 hari sebelum menetas, dan selanjutnya anak Burung Gereja akan diurus selama 15-20 hari oleh orang tuanya sebelum bisa terbang sendiri meninggalkan sarangnya.

Menurut jurnal karya Swaileh KM dan Sansur R dari Dept. of Biology and Biochemistry, Birzeit University yang meneiti berapa banyak konsentrasi logam dalam perut Burung Gereja, menyimpulkan bahwa keberadaan Burung Gereja di suatu wilayah bisa jadi petunjuk seberapa banyak tingkat polusi di daerah tersebut. Jadi, amatilah lingkungan dan sekeliling rumah.

Apakah masih sering mendengar cicit Burung Gereja? Bila ya, berbahagialah karena kadar polutan di tempat bermukim masih bisa ditolerir.

Artikel ini ditulis oleh Nabila Meidy Sugita, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(sun/fat)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads