Kasus kematian ibu dan anak menjadi perhatian penting bagi pemerintah maupun bidang kesehatan. Di Jawa Timur, Surabaya pernah meraih rating tertinggi. Namun kini digantikan Jember.
Hal ini diungkapkan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Surabaya sekaligus Ketua Departemen Obstetri dan Ginekologi FK Unair, Dr dr Brahmana Askandar SpOG(K). Ada beberapa faktor yang menjadikan Kota Pahlawan tidak lagi menjadi daerah tertinggi kasus kematian ibu dan anak.
"Surabaya bukan tertinggi lagi di Jatim. Salah satunya karena seluruh warga Surabaya sudah tercover JKN. Karena 100% orang Surabaya tercover JKN. Itu juga bisa jadi salah satu faktor yang menurunkan angka kematian ibu di Surabaya," kata dr Brahmana usai Inaugurasi Adjunct Professor Departemen Obstetri & Ginekologi kepada Associate, Prof Johannes JΓΌrg Duvekot MD PhD dari Erasmus University Medical Centre, Rotterdam, Belanda, di FK Unair, Rabu (15/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, angka kematian ibu dan anak di Surabaya bisa lebih ditekan lagi. Karena RS Surabaya Timur mulai dibangun, dimana RS ini fokus kepada ibu dan anak.
"Pemkot saat ini sedang membangun rumah sakit ibu dan anak (RS Surabaya Timur), RS khusus ibu dan anak ya," ujarnya.
Sementara Staf Pengajar Minat Obstetri Ginekologi Sosial FK Unair -RSU dr Soetomo, dr Muhammad Yusuf SpOG mengatakan, angka kematian ibu dan anak di Surabaya sudah turun. Justru saat ini yang menjadi perhatian adalah Jember.
"Surabaya pernah masuk 6 daerah dengan angka kematian paling tinggi di Jawa Timur. Tapi sekarang angka itu sudah di bawah tiga digit. Saat pandemi COVID-19 pernah sampai dua kali lipat. Tapi sekarang Surabaya sudah tidak lagi diawasi Kemenkes terkait angka kematian ibu. Yang masih jadi perhatian sekarang Jember, jadi nomor satu di Jawa Timur," jelasnya.
Dr Yusuf mengatakan, angka kematian ibu pasca melahirkan saat ini mencapai 80an jiwa per 100 ribu kelahiran hidup setiap tahun. Penyebabnya karena hipertensi selama kehamilan, penyakit jantung hingga pendarahan pasca melahirkan.
Kematian ibu dan anak di RSU dr Soetomo dalam setahun bisa mencapai 70-an. Jumlah ini pun stagnan, padahal Surabaya memiliki dokter spesialis yang banyak.
"Stagnan. Artinya jelek, padahal kita cetak spesialis dan dokter. Harusnya angka kematian dikerek turun. Bukan stagnan," pungkasnya.
(esw/fat)