Peringatan Hari Pahlawan selalu mengingatkan kembali bagaimana gigihnya para pejuang kemerdekaan ketika merebut kemerdekaan dari tangan penjajah. Tidak hanya didominasi kaum adam, para pejuang perempuan pun membuang rasa takutnya demi mempertahankan kemerdekaan.
Salah satu sosok pejuang perempuan di Lamongan adalah Ibu Subekti yang tinggal di Jalan Wahidin Sudirohusodo Lamongan. Di usianya yang sudah lebih dari 95 tahun, ingatan akan masa-masa perjuangan masih kuat dan semangatnya pun masih menyala-nyala.
"Saya harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindari kejaran tentara Belanda," kata Ibu Subekti mengawali kisahnya kepada detikJatim, Jumat (10/11/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masa agresi militer Belanda, Ibu Subekti yang seorang guru ini merasakan bagaimana ia harus berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Bu Bekti juga masih ingat ketika harus bersembunyi di hutan bersama teman-temannya ketika Belanda masuk ke Lamongan.
![]() |
"Pernah saya diminta untuk menyimpan berkas atau dokumen yang tidak boleh diketahui oleh Belanda dan agar aman dokumen tersebut saya pendam di dalam tanah," ujarnya.
Ibu Subekti bercerita, saat mengantarkan dokumen tersebut ke orang yang dituju yang berada di Kecamatan Sugio, ia harus melewati pos-pos penjagaan tentara Belanda dan bahkan sempat dituduh mata-mata dan ditodong senjata oleh Belanda. Beruntung saat itu ia menyamar menjadi orang biasa sehingga bisa lepas dari moncong senjata Belanda.
"Saya katakan ketika itu kalau saya sedang mencari saudara saya di Sugio," akunya.
Usai menjadi pengantar dokumen, Ibu Subekti juga sempat ikut bergerilya ketika Belanda sudah masuk ke Lamongan. Karena tamatan sekolah guru, Ibu Subekti mengajar secara bergerilya ke sekolah-sekolah yang masih dikuasai oleh RI ketika itu.
"Saya ya pindah-pindah, ya mengajar di desa-desa wilayah Kecamatan Sugio, Kecamatan Mantup yang semuanya itu saya tempuh dengan jalan kaki di sekolah-sekolah RI lewat hutan," imbuhnya.
Tidak seperti sekarang, kenang Ibu Subekti, kalau pada saat mengajar itu datang patroli Belanda maka mereka akan sembunyi, karena kalau tidak pasti akan diamankan oleh tentara Belanda. Kalau malam usai mengajar, ia bersama teman-temannya sesama guru sekolah RI bersembunyi di hutan untuk menghindari kejaran tentara Belanda.
"Kalau jalan biasa dikawal oleh tentara Republik," ungkapnya.
Saat-saat masa revolusi kemerdekaan itu juga Ibu Subekti kenal dengan seorang tentara Republik yang akhirnya menjadi suaminya, Kasbolah dan menikah pada tahun 1949. Ibu Subekti mengaku, awal ia kenal suaminya itu karena ia menjadi pengantar surat dari satu pos ke pos lain yang dikuasai oleh tentara Republik.
"Kalau sedang menyamar ya saya berpakaian preman, pakai pakaian robek-robek gitu agar tidak ketahuan," lanjut Ibu Subekti.
Dari kisah sang ibu yang pemberani ini, anak kelima Ibu Subekti, Hemi Nurkayati mengaku bangga dengan dengan perjuangan ibunya. Menurut Hemi, sang ibu hingga kini masih bersemangat mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada lingkungan sekitar, terutama kegiatan seperti peringatan Hari Pahlawan atau hari-hari besar nasional lainnya seperti Hari Kemerdekaan.
"Ibu saya ini semangatnya masih sangat tinggi dan kalau ada undangan kegiatan apapun mesti masih kepingin datang," terang Hemi.
Sebagai seorang anak pejuang veteran, Hemi berharap dihari pahlawan ini ibunya tetap di beri kesehatan dan umur panjang agar kelak bisa melihat anak cucu-cucunya sukses.
(abq/iwd)