Terowongan Niyama, Saksi Bisu Romusa di Tulungagung

Terowongan Niyama, Saksi Bisu Romusa di Tulungagung

Savira Oktavia - detikJatim
Rabu, 18 Okt 2023 18:00 WIB
Terowongan Niyama atau Terowongan Suka Makmur.
Terowongan Niyama atau Terowongan Suka Makmur/Foto: Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Tulungagung
Tulungagung -

Beberapa bangunan yang didirikan pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia, menjadi saksi bisu kekejaman yang dilakukan pemerintah Jepang terhadap rakyat Indonesia.

Salah satunya Terowongan Niyama. Bangunan ini menyimpan banyak kenangan menyedihkan bagi masyarakat Tulungagung. Sebab, menimbulkan kerugian bagi rakyat.

Sejarah Pembangunan Terowongan Niyama

Mengutip jurnal Perang Memori dan Historiografi Indonesia Studi Penyebutan Terowongan Neyama di Tulungagung Jawa Timur karya Latif Kusairi, Terowongan Niyama merupakan proyek drainase yang diprakarsai pemerintahan Jepang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terowongan Niyama dibangun untuk mengatasi permasalahan banjir di Tulungagung. Ada beberapa faktor yang menjadi alasan pembangunan Terowongan Niyama sebagai berikut.

  • Pada saat itu, Kabupaten Tulungagung menjadi salah satu dari sekian banyak daerah yang rawan bencana. Kawasan ini selalu tergenang air setiap tahunnya. Kegagalan panen yang dirasakan para petani karena banjir berdampak pada kesenjangan perekonomian masyarakat.
  • Kawasan ini merupakan salah satu daerah yang dilewati Sungai Berantas yang mengalami pendangkalan akibat sedimen dari sisa letusan Gunung Kelud. Sehingga airnya meluap ketika musim hujan karena tidak dapat menampung debit air yang besar dan hanya memperparah banjir di Tulungagung.
  • Sistem drainase atau pengaliran di Tulungagung tidak dapat mengalirkan besarnya debit air menuju Samudera Hindia.

Ketersediaan daya pendukung ekonomi yang cukup besar, juga lokasi yang cukup strategis, serta terpenuhinya akses transportasi mendorong Jepang melakukan penanggulangan terhadap bencana banjir di Tulungagung.

ADVERTISEMENT

Pada 1943, Residen Kediri Enji Kihara mengusulkan pembangunan drainase buatan, yaitu terowongan air yang menembus gunung untuk mengalirkan air yang menggenang di hilir Sungai Berantas menuju Samudera Hindia.

Pembangunan mulai dilaksanakan Jepang menggunakan prinsip Romusha atau kerja paksa menggunakan tenaga rakyat, dan bantuan bahan peledak serta peralatan tangan sederhana.

Terowongan Niyama masih bekerja dengan baik sampai pemerintahan Jepang meninggalkan Indonesia pada 1945. Akan tetapi, tahun 1955 terjadi banjir di Sungai Berantas karena letusan Gunung Kelud.

Pada 1959 dan 1980, pemerintah Indonesia dua kali merehabilitasi dengan menambah terowongan untuk menampung debit air yang lebih besar, dan berhasil mengurangi genangan air di Tulungagung. Pada 1986 Terowongan Niyama diresmikan Presiden Soeharto dan berganti nama menjadi Terowongan Suka Makmur.

Potret Kekejaman Jepang di Terowongan Niyama

Dalam jurnal Mengubah Opini Masyarkaat Tentang Terowongan Niyama dari Simbol Kekejaman Menjadi Bernilai Kearifan Tahun 1986-1998 karya Erfina Wahyuningtyas, beberapa kekejaman Jepang di Terowongan Niyama memunculkan pandangan negatif. Berikut daftarnya.

1. Upah Kecil

Tidak jauh berbeda dengan masa pemerintahan kolonial Belanda yang merancang kebijakan kerja Rodi dengan upah sedikit, pemerintah Jepang juga mempunyai kebijakan kerja paksa yang diberi nama Romusa. Ketika itu, mereka menggunakan tenaga penduduk untuk membangun Terowongan Niyama.

Para pekerja tangan kosong diberi upah Rp 20 sen per hari, dan akomodasi makan dua kali sehari, yaitu makan siang dan makan malam nasi beras yang dicampur jagung atau dengan buah dadap. Lauknya parutan kelapa yang dicampur gula atau biasa disebut urapan.

Bagi pekerja yang membawa lembu diberi upah Rp 95 sen per hari. Upah ini terbilang lebih besar, akan tetapi mereka tidak diberikan akomodasi makanan, sehingga harus membeli makanan dan minuman menggunakan upah itu dari para pedagang makanan yang berkeliling di sekitar bukit.

2. Menggunakan Tenaga Manusia dan Alat Sederhana

Atas permintaan Residen Kediri Enji Kihara terhadap Panglima Tertinggi Jepang Letjen Harada, pembangunan Terowongan Niyama dilaksanakan secara mendadak tanpa persiapan apapun.

Pembangunan ini tidak melibatkan seorang insinyur, sehingga mereka harus melalui banyak kesulitan saat melewati gunung dan jalanan perbukitan. Bahkan, alat yang dimanfaatkan hanya dinamit dan peralatan sederhana.

Biasanya, setiap desa mengirimkan satu rombongan yang terdiri dari 7 orang untuk menjadi pekerja di Niyama dalam kurun waktu 15 hari sebelum akhirnya digantikan rombongan berikutnya. Tenaga Romusha ini diperoleh dari berbagai wilayah, seperti Panggul, Karangan, Trenggalek, Blitar, Kediri, dan Tulungagung.

Jenis pekerjaan yang dilakukan cukup beragam, di antaranya menebang pohon di hutan, memecah batu, menggali tanah dan membawanya ke atas menggunakan keranjang atau donak, kemudian kembali membawa batu untuk beteng kali.

Para pekerja yang membawa lembu, mereka bekerja di atas bukit Tumpak Oyot, dengan melakukan jenis pekerjaan seperti menyangkul tanah lalu membawanya ke selatan bukit menggunakan gerobak besi atau lori. Selanjutnya, mereka menarik lori menggunakan lembu untuk menaiki bukit. Dilakukan berulang.

Jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja Romusha yang cukup berisiko adalah meruntuhkan bebatuan yang menutupi bagian yang akan dijadikan terowongan menggunakan dinamit.

Sebelumnya pekerjaan ini dilakukan orang Jepang, akan tetapi terjadi tragedi yang menewaskan Tuan Marioke karena ledakan dinamit, sehingga masyarakat harus turun tangan memberi pelatihan di bawah pengawasan orang Jepang.

3. Peraturan dan Pengawasan Ketat

Jam kerja dimulai sekitar pukul 06.00 atau 07.00 pagi dengan waktu istirahat sekitar pukul 12.00 untuk mendapatkan jatah makanan. Lalu, melanjutkan pekerjaan pada pukul 13.00 sampai dengan 17.00. Jepang menyediakan sebuah barak beralaskan dan beratapkan daun kelapa sebagai tempat istirahat para pekerja.

Pengawasan pun dilakukan pada malam hari dengan sangat ketat karena waktu ini sering dijadikan kesempatan bagi para pekerja untuk melarikan diri. Bagi pekerja Romusha yang melanggar peraturan akan diberi hukuman jongkok dengan lutut bagian dalam diberi bambu dan harus duduki, lalu bambu tersebut diinjak mandor.

Para pekerja yang bermalas-malasan akan menerima pukulan dari Buntek Chok atau pengawas kelompok. Sedangkan apabila Buntek Chok sedang lengah ketika bekerja mereka juga akan diberi hukuman oleh Hanco atau Tanco atau sebutan bagi mandor.

4. Wabah Malaria

Kawasan Niyama merupakan kawasan penyebaran wabah malaria. Ribuan korban meninggal karena menderita penyakit malaria. Dalam satu hari setidaknya ada tiga orang yang meninggal karena wabah ini. Namun, para mandor dan pemerintah Jepang seakan-akan tidak mempedulikan kesehatan para pekerja.

Akibatnya, populasi orang yang terkena wabah ini mengalami peningkatan. Di samping itu, kematian yang terjadi karena kecelakaan kerja juga tergolong tinggi. Mereka akan dipaksa bekerja dengan kondisi tubuh yang tidak stabil sampai akhirnya meninggal dunia.

Jenazah mereka akan dibawa pulang anggota kelompoknya atau dimakamkan di bagian selatan bukit. Beberapa pekerja yang sakit memilih menyembunyikan diri di hutan supaya tidak dipaksa bekerja, hingga meninggal dunia dan jasadnya membusuk di hutan.

Itulah informasi mengenai sejarah pembangunan Terowongan Niyama di Tulungagung, beserta potret kekejaman Jepang terhadap rakyat pada masa itu.

Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/sun)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads