Bendera Setengah Tiang Simbol Warga Branggah Banaran Perjuangkan Tanah Leluhur

Bendera Setengah Tiang Simbol Warga Branggah Banaran Perjuangkan Tanah Leluhur

Erliana Riady - detikJatim
Selasa, 17 Okt 2023 13:20 WIB
Bendera dan spanduk di Dusun Klakah, Blitar, yang menuntut tanah leluhurnya dikembalikan.
Bendera dan spanduk di Dusun Klakah, Blitar, yang menuntut tanah leluhurnya dikembalikan. Foto: Erliana Riady/detikJatim
Blitar -

Sudah satu tahun ini warga Branggah Banaran memasang bendera setengah tiang. Mereka berduka atas tragedi berdarah di daerahnya dalam memperjuangkan hak atas tanah leluhur.

Aris Widodo adalah anak dari Jiat Riady, petani yang divonis bebas dalam kasus penyerobotan lahan PT Perkebunan Tjengkeh Branggah Banaran. Menurutnya, pandemi COVID-19 makin melemahkan kondisi perekonomian warga.

Banyak pemuda yang dulunya pindah ke kota untuk mencari pekerjaan, memilih mudik karena terdampak pemutusan hubungan kerja. Yang bisa mereka lakukan di kampung hanyalah menanam ubi kayu sekadar untuk makan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tepat tanggal 11 November 2022, di area petak Petak F9, F10, G9, G10, dan H10 Desa Sidorejo, Kecamatan Doko, Blitar inilah mereka menanam ubi kayu. Yang kemudian membawa tiga petani ke meja hijau.

"Kepepet, karena kondisi kami makin susah. Kami tanam ubi kayu ini hanya untuk makan. Pemuda sini banyak yang pulang kampung karena kena dampak COVID-19. Hanya menanam ubi ini yang bisa kami lakukan," kata Aris kepada detikJatim, Selasa (17/10/2023).

ADVERTISEMENT

Faktor lain yang membuat sekitar 70 warga Branggah Banaran kembali menanam di petak itu adalah menagih janji bupati Blitar tahun 2000 lalu. Bupati Blitar menjanjikan tanah leluhur akan dikembalikan kepada warga.

"Kami tagih janji itu. Kami juga menanyakan di mana keberadaan petok letter D punya kami yang dulu diminta. Kan sampai sekarang tidak jadi dibangun lapangan terbang, jadi kami minta kembali tanah leluhur kami ini," tambah Prianto Sukiran usai vonis bebas di PN Blitar.

Namun, aksi itu direspons PT Perkebunan Tjengkeh dengan melaporkan mereka ke kepolisian dengan tuduhan penyerobotan lahan perkebunan. Sebagai tanda duka cita yang mendalam atas kejadian itu, warga kemudian memasang bendera setengah tiang.

Hanya pada peringatan Kemerdekaan ke-78 RI bendera merah putih berkibar di tanah itu satu tiang penuh. Keesokan harinya warga kembali menurunkannya setengah tiang.

"Ini tanda rasa berduka kami yang amat dalam. Kami belum sepenuhnya merdeka hidup di atas tanah leluhur kami sendiri," tandas Djemuri.

Perjalanan panjang warga Branggah Banaran memperjuangkan tanah leluhurnya belum berujung. Menurut keterangan Djemuri dan warga sekitar, dibukanya lahan di Dukuh Klakah, Desa Sidorejo berawal dari usainya perang kemerdekaan ketika penjajah meninggalkan Indonesia.

Selanjutnya masyarakat Dusun Klakah menggarap dan mengelola tanah, sehingga terbentuklah komunitas masyarakat Desa Senggrong, Dusun Klakah, dan Dusun Telogo Arum.

Lahan garapan tersebut dimiliki secara sah melalui lembaran Letter D yang diterbitkan petugas dari Tulungagung bernama Arimun akhir tahun 1956. Pemberian petok letter D itu dilakukan di rumah perangkat desa yang disebut Gerombol, atau istilah sekarang Gerombol/RT yang bernama Marimun.

"Pada tahun 1958 petugas pendapatan Tulungagung mengadakan rapat di bekas pabrik karet Belanda di Desa Senggrong, lurah Senggrong nama awal Desa Sidorejo, kala itu bernama Rustamaji mengatakan akan menarik kembali seluruh dokumen bukti kepemilikan lahan masyarakat dengan alasan akan diperbaharui," tutur petani berusia 63 tahun ini.

Tahun 1958 tersebut sudah dimulai penarikan sebagian dokumen. Sebenarnya kala itu masyarakat sudah bertanya-tanya, mengapa dokumen yang baru diterbitkan 2 tahun akan ditarik kembali. Kalau seandainya dianggap dokumen tersebut keliru, mengapa tetap diterbitkan.

Penarikan dokumen berangsur terus berjalan. Perkiraan luas lahan masyarakat Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum adalah 200 hektare. Terdiri 150 KK dan 415 hak pilih. Pada akhir 1959, dilangsungkan rapat di bekas pabrik karet yang sama. Pemerintah desa mengatakan akan dijadikan lapangan kapal terbang.

Lalu pada 1960, pemerintah setempat menjanjikan ganti rugi atas lahan tersebut, seluruh lembaran dokumen Letter D di masyarakat ditarik oleh aparat desa kala itu dengan alasan akan diperbaharui. Tentu saja masyarakat patuh pada aturan itu.

"Hingga saat kronologis ini ditulis tahun lalu, dilampiri dokumen yang diperlukan untuk diserahkan kepada kantor staf presiden, surat pembaharuan yang dimaksud di atas tidak kunjung ada, dan Letter D yang sudah terlanjur diserahkan hingga sekarang tidak dikembalikan, lapangan kapal terbang yang diceritakan tidak pernah ada," ungkapnya.

Kompensasi atas penarikan dokumen kepemilikan lahan masyarakat juga tidak pernah dijelaskan bakal seperti apa dan berupa apa. Sampai pada 1962, lapangan kapal terbang yang pernah diinformasikan ternyata tidak dibangun. Justru dimulailah penanaman pohon cengkeh oleh perusahaan bernama GAPRI (Gabungan Pabrik Rokok Republik Indonesia).

Waktu terus berjalan di mana nama perusahaan berganti-ganti seperti YCI, BPPT, hingga PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran. Dulu di Desa Sidorejo (awalnya bernama Desa Senggrong) tidak ada nama wilayah Dukuh Banaran. Nama ini baru ada sekitar tahun 1980-an.

Selama perusahaan perkebunan menjalankan operasinya, masyarakat 2 dusun yaitu Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum tidak diperkenankan masuk area kebun. Misalkan untuk ambil rumput, masyarakat sering dikata-katai petugas keamanan bahwa mereka akan mencuri cengkeh. Tak jarang mereka juga dipukul berkali-kali.

Pemerintah desa, kecamatan, hingga kabupaten selam 40 tahun lamanya terus upaya agar masyarakat Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum bisa menggarap lahan. Namun, semua upaya itu sia-sia tanpa ada hasil ataupun perhatian dari pemerintah.

Konflik antara masyarakat dan perkebunan terus berlanjut. Pada 21 Juni 2000, kondisi panas memuncak hingga terjadi demo oleh masyarakat. Pukul 09.00 WIB, gerakan warga yang mendekati area perkebunan disambut rentetan tembakan aparat yang mengakibatkan belasan warga meninggal dunia.

"Yang kami tahu dua warga kami yang tewas itu Pak Sumarlin dan Samidi. Itu pun jasadnya disembunyikan pihak perkebunan. Jumlah korban sangat banyak, dibiarkan saja bergeletakan di lokasi," tutur Djemuri yang saat itu berada di lokasi.

Jumlah korban bisa jadi jauh lebih banyak karena banyak keluarga yang menanyakan nasib anggota keluarganya. Penanganan jenazah korban berlangsung sangat cepat dan tertutup.

Korban mati banyak dari masyarakat yang tidak dikenal. Informasi yang beredar saat itu, mereka warga dari daerah lain. Misalnya Dampit, Kalipare, Ngadri, Sambi Gede. Hal ini dirasa aneh bagi masyarakat lokal Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum.

Sementara korban luka tembak juga banyak baik dari daerah lain dan dusun setempat, sebagian di antaranya dari masyarakat lokal. Korban yang terdata atas nama Winarno, Ponari, Emblem. Ketiganya sampai hari ini masih hidup dalam kondisi cacat.

Korban penganiayaan dan kekerasan yang menjadi saksi hidup hingga saat ini masih banyak dan dapat diminta keterangannya di dusun tersebut. "Hingga saat ini kasus tersebut seolah terkubur dan tidak ada keadilan hukum bagi masyarakat Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum," kata Djemuri.

Pasca kejadian penembakan tersebut, masyarakat dijanjikan kompensasi oleh PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran. Hal tersebut dituangkan dalam bentuk perdes, yang menyatakan jika panen raya, masyarakat akan mendapat 5 ton cengkeh kering.

Jika tidak panen raya, masyarakat akan mendapat separuhnya yaitu 2,5 ton. Cengkeh ini akan dibagikan secara merata kepada seluruh masyarakat di 5 dusun yang jumlahhya 1.500 KK.

"Padahal kasus lahan di atas menimpa masyarakat 2 dusun yaitu Dusun Klakah dan Telogo Arum saja. Ini merupakan potensi konflik horizontal. Kami seperti diadu domba," imbuhnya.

Selama 19 tahun berjalan, pembagian 5 ton cengkeh kering terjadi selama 10 kali, dan sisa 9 tahun dibagikan 2,5 ton cengkeh kering. Namun, pembagian itu kemudian berubah yang tidak secara jelas diketahui masyarakat.

PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran menawar bagi hasil berubah dari 5 ton atau 2,5 ton menjadi hanya 2,5 kuintal. Pembagian dilakukan hanya antara PT PT Perkebunan Tjengkeh Kebun Branggah Banaran dan kades.

Tahun 2019 terjadi pergantian kades. Kades baru Danang Dwi Suratno tidak bersedia menerima tawaran 2,5 kuintal tersebut, dan berlangsung hingga sekarang. Pada 26 Februari 2022, setelah mengalami tekanan ekonomi akibat pandemi COVID-19, masyarakat Dusun Klakah dan Telogo Arum memberanikan diri menulis surat kepada presiden dan pihak terkait dengan tujuan perbaikan ekonomi serta menyusun masa depan generasi muda.

Harapan masyarakat Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum adalah lahan seluas sekitar 200 hektare yang awalnya milik masyarakat bisa dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Serta kompensasi hasil panen yang dijanjikan bisa diberikan kepada masyarakat Dusun Klakah dan Dusun Telogo Arum.

Terakhir, penegakan keadilan terhadap masyarakat korban penganiayaan dan penembakan. Kronologi ini ditulis dari keterangan masyarakat Dusun Klakah dan Telogo Arum dilampiri dokumen yang diperlukan untuk diserahkan kepada kantor staf presiden.

"Saya berpegang teguh pada aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Saya memohon, pihak perkebunan terbuka berkomunikasi dengan desa. Saya selama ini tidak pernah tahu bentuk fisiknya HGU yang dimiliki mereka seperti apa," kata Djemuri.

"Saya tidak pernah dikasih hanya untuk melihat. Apakah benar masih aktif atau tidak. Makanya saya mengakomodasi tuntutan warga. Ayo kalau mau menuntut hak, tapi pakai jalan yang benar," pungkasnya.




(irb/dte)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads