Penjelasan Psikolog soal Fenonena Siswa SD Situbondo Sayat Lengan Sendiri

Penjelasan Psikolog soal Fenonena Siswa SD Situbondo Sayat Lengan Sendiri

Esti Widiyana - detikJatim
Senin, 02 Okt 2023 20:40 WIB
A litte girl sitting next to a window with her head down in sadness. Feeling depressed and hurt.
Ilustrasi (Foto: Getty Images/iStockphoto/globalmoments)
Situbondo -

Fenomena siswa menyayat lengannya sendiri muncul di Situbondo. Aksi itu dilakukan siswa SD usia sekitar 10-12 tahun meniru dari TikTok.

Para siswa SD itu menggores atau menyayat lengannya sendiri menggunakan alat kesehatan berbentuk stik yang biasanya digunakan untuk mengecek kadar diabetes.

Siswa SD yang disebut berusia sekitar 10 hingga 12 tahunan itu mengaku membeli alat tersebut dari salah seorang pedagang keliling yang berjualan di sekitar sekolahnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Psikolog, Praktisi Perlindungan Perempuan dan Anak Jatim, Riza Wahyuni menyebut, tren ini sebenarnya sudah lama dilakukan. Namun, karena dilakukan pada saat live di TikTok, kini menjadi ramai.

"Trend 6 bulan terakhir, namun baru ramai sekarang. Ada fenomena di mana anak-anak memiliki tantangan katanya semakin banyak goresannya, maka akan semakin banyak mendapat gift. Ini problem, pernah live di TikTok," kata Riza saat dihubungi detikJatim, Senin (2/10/2023).

ADVERTISEMENT

Menurutnya, fenomena ini yang membuat anak-anak lainnya mencontoh. Anak-anak rentan masalah mental health. Apalagi yang berkaitan dengan kesehatan mental, mudah putus asa, mudah merasa bersalah atas sesuatu yang ada pada diri mereka.

"Hal-hal yang ada pada diri mereka beraneka ragam, bisa saja mereka korban bullying, korban kekerasan oleh orang dewasa, keluarga broken home, bisa saja kesalahan pengasuhan di dalam keluarga. Sehingga membentuk diri mereka bermasalah yang tidak terdeteksi orang tua sejak awal," jelasnya.

Praktisi psikolog klinis dan forensik Surabaya ini juga menyebut, ada gejala yang perlu diperhatikan pada perubahan perilaku anak. Seperti anak tidak keluar rumah, tidak bergaul, mengurung diri, jam tidur tidak sehat dan lainnya dianggap hal yang biasa. Karena di dalamnya, anak-anak mengalami depresi.

Terlebih bila hal ini mendapat dukungan. Seperti ketika di media sosial menampilkan adegan sayat lengan sendiri dan ada yang melihat, kemudian anak yang menonton merasakan hal yang sama dan merasa dia tidak sendirian, tetapi banyak orang yang mengalami hal yang sama. Akhirnya mencontoh apa yang dilakukan orang tersebut.

"Problem bukan hanya sayatan, beberapa kejadian karena yang dilakukan itu seperti penyalahgunaan narkoba atau pelaku bullying, atau mencontoh bunuh diri yang ada di sosmed live. Itu juga fenomena," ujarnya.

Saat ditanya fenomena sayat lengan sendiri in karena depresi atau tren, Riza mengaku perlu dilakukan penyelidikan lebih mendalam. Karena apa yang dialami sebenarnya belum tentu menggambarkan masalah yang terlihat dari luar.

"Contoh, isu bunuh diri anak SD di Jatim, yang selalu digemborkan bahwa dia korban bullying. Ketika turun lapangan dan investigasi untuk memastikan, ternyata menemukan isu lain, anak ini mengalami kekerasan oleh orang di sekitarnya dan dibuat seolah bunuh diri," urainya.

"Kalau terjadi sesuatu terhadap anak SD kita perlu melihat lebih dalam apa penyebabnya. Apakah karena tren "ikut-ikutan" di media sosial, apakah disebabkan memang kondisi mental bermasalah. Makanya kami di beberapa sekolah SD sudah melakukan screening terhadap masalah ini kepada usia kelas 3 ke atas, screening apakah ada problem mental health kepada mereka. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan," pungkasnya.




(esw/fat)


Hide Ads