2 Contoh Cerpen Tema Kemerdekaan untuk Referensi Tugas Sekolah

2 Contoh Cerpen Tema Kemerdekaan untuk Referensi Tugas Sekolah

Savira Oktavia - detikJatim
Selasa, 22 Agu 2023 11:32 WIB
Ilustrasi Bendera Indonesia
Ilustrasi Anak-anak memegang bendera Indonesia/Foto: Getty Images/iStockphoto/rudi_suardi
Surabaya -

Kemeriahan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Indonesia (RI) ke-78 masih terasa. Masyarakat merayakan peringatan Hari Kemerdekaan dengan berbagai cara. Mulai dari semarak lomba, tradisi Agustusan, hingga kegiatan menulis kreatif tema Kemerdekaan.

Menulis kreatif menjadi salah satu keterampilan berbahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi tidak langsung untuk menyampaikan gagasan, pikiran, dan perasaan dalam bentuk tulisan. Salah satu karya yang dihasilkan ialah cerpen (cerita pendek).

Cerpen merupakan karangan pendek berbentuk prosa yang dibangun oleh beberapa komponen, terdiri atas tema, alur latar, penokohan, sudut pandang, amanat, dan gaya bahasa. Karya sastra yang satu ini bersifat fiksi atau rekaan imajinatif yang mengungkapkan satu permasalahan secara singkat dan padat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Contoh Cerpen Tema Kemerdekaan

Cerpen bertemakan Hari Kemerdekaan mengandung berbagai nilai-nilai kehidupan yang dapat memupuk rasa nasionalisme. Berikut 3 contoh cerpen tentang Hari Kemerdekaan dikutip dari situs resmi Komunitas Penulis Cerpen Indonesia, Cerpenmu. Cerpen-cerpen bisa dijadikan referensi.

Cerpen 1: Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat Karya Sri Rohmatiah Djalil

Para penghuni bumi sepertinya masih berdiam diri di tempat ternyaman, karena awal Agustus kali ini puncaknya musim kemarau.

Suhu udara di pagi hari teramat dingin hingga menembus tulang belulang. Apalagi di Bandung, suhu udara setiap harinya amat dingin.

Aku pun sejak selesai melaksanakan salat Subuh, selimut masih membalut seluruh tubuh. Entah mengapa, pagi ini aku malas gerak, juga tidak bisa memejamkan mata kembali. Aku hanya memandang layar ponsel yang sesekali gelap karena tak tersentuh.

"Bagaimana aku bisa memberi kabar buruk pada orang tua yang jauh di sana?" batinku.

"Jangan, nanti ibumu sedih," kata sisi lain dari sudut hati.

"Telepon ibumu, katakan yang sebenarnya," seru kata hati yang lain.

Kata hati terus beradu berusaha memengaruhi, tetapi aku tidak dapat mengambil keputusan untuk saat ini.

Sayup-sayup terdengar suara orang mengucapkan salam kepada pemilik . Itu tandanya penghuni kos satu persatu mulai beraktivitas, berjuang mencari ilmu.

"Assalamualaikum, saya berangkat, Bu!" itulah yang sering aku katakan setiap pagi pada ibu kos ketika hendak berangkat bimbingan belajar.

Tidak untuk pagi ini.

Samar-samar terdengar suara jalan kaki mendekat pintu kamar, dilanjutkan dengan suaranya yang begitu khas. Si Jawa medok, begitulah aku memanggilnya, "Si Jawa Medok" walaupun dia bernama Bagas.

"Bangun pejuang PTN, Negeri sedang tidak baik-baik saja, kau pemuda masih saja bersembunyi di balik selimut," teriaknya.

Ah, masa bodoh, aku pun tidak sedang baik-baik saja, adakah yang peduli. Aku kecewa karena perjuanganku tidak sesuai dengan hasilnya.

Aku semakin menenggelamkan kepala di balik bantal, karena tidak ingin lagi mendengar panggilan teman satu perjuangan itu, "Pejuang perguruan tinggi negeri."

"Dia sih enak sudah masuk di PTN pilihan satu," batinku.

Aku? Oh tidak, pilihan kedua itu tidak enak ternyata. Bagaimana tanggapan teman-temanku nanti? Si kutu buku hanya dapat di pilihan kedua, gak becus ngisi soal ujian.

Lalu bagaimana pula dengan orang tuaku yang sudah mengeluarkan begitu banyak biaya demi pilihan kesatu.

Aku terus disibukkan dengan pikiran yang belum jelas.

"Bro ... ayo keluar, kita berjuang untuk Republik ini, Negeri butuh kita, si tangguh," teriak Bagas lagi.

Apa lagi yang dikatakan laki-laki itu di balik pintu. Apakah aku harus seperti Chaerul Saleh, pemuda pejuang kemerdekaan yang menculik pemimpin negeri demi ikrar? Bukan menculik, tetapi mengamankan sang Presiden agar Proklamasi segera diikrarkan. Negeri ini sudah merdeka, aman, sejahtera, apa yang harus aku lakukan?

Terdengar suara getar ponsel di sampingku, panggilan dari ibu. Aku hanya memandanginya, tidak ada keberanian mengangkat.

Sementara suara Bagas sudah menghilang, kesunyian pun semakin merayap. Perlahan, aku mendekati daun jendela yang masih tertutup rapat.

Kubuka pelan dan sinar matahari pun langsung menerobos ke dalam kamar. Ternyata hari menjelang siang. Pantas saja perutku sudah mulai menggeliat.

Aku mematung di tepi jendela dan membiarkan seluruh wajah terpapar sinar matahari. Konon kata pakar kesehatan, sinar matahari matahari pukul 08.00 sampai 10.00 bagus untuk kesehatan.

Kembali ponsel bergetar, aku masih enggan mengangkatnya, mati sejenak, tetapi kembali berbunyi.

"Ibu, please jangan telepon dulu, aku belum siap berbicara denganmu, Bu," batinku seraya mengambil ponsel yang masih di atas tempat tidur.

Lega rasanya, ternyata yang menghubungiku bukan ibu, tetapi Bagas. "Maafkan, Bu, bukan aku tidak merindukanmu," batinku.

"Ya ampyun, lama sekali kamu tidak membuka pintu, aku kira kamu mimpi diajak bidadari dan tak ingin kembali ke kampungmu," teriak Bagas setelah ponsel aku buka.

"Cepat buka pintunya, aku sampai ketiduran di balik daun pintu, apa kata Facebook jika ada orang yang viralkan ketidaksengajaanku ini," lanjut Bagas.

Aih, ternyata si Jawa masih menungguku di balik pintu. Dengan malas akhirnya aku buka pintu kayu yang bercat putih itu.

Bagas si Jawa berkulit sawo matang nyuruduk saja masuk ke dalam kamar dan langsung memasak air panas dengan electric kettle. Setelah beberapa detik, aroma kopi panas menyebar ke seluruh kamar kos yang berukuran 16 meter persegi.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan sehingga mengurung diri di kamar tidak seperti biasanya." Bagas memulai pembicaraan.

Aku membisu dan membiarkan Bagas untuk berbicara, bagiku aroma kopi lebih menarik daripada ocehan laki-laki necis itu.

Iya dia terlalu necis untuk jadi calon dokter, Bagas lebih pantas jadi model kemeja, jas, sepatu. Namun, pilihan ada di tangannya.

"Tak kurang kita berusaha, tetapi yang menentukan Allah Swt., kita punya cita-cita sama yakni menuntut ilmu, bukan mencari gelar, jadi di mana pun kita sekolah, itulah pilihan terbaik yang telah tertulis di langit," ujarnya.

"Ayolah, di bulan kemerdekaan ini, kita bangkit, lebih optimis, bersinergi membangun Negeri dengan cara kita agar kondisi Negeri pulih kembali," ujarnya lagi.

"Ingat sejarah membuktikan kalau kaum tua itu tidak egois, mereka mau musyawarah dengan kaum muda, makanya ada Proklamasi Kemerdekaan. Begitu juga dengan orang tuamu, Sobat. Aku yakin dia tidak egois, dia tahu betul usahamu untuk maju."

Kembali aku diam meresapi apa kata Bagas.

"Kau ingat peristiwa Rengasdengklok? di mana para pemuda mengamankan Soekarno dan Mohammad Hatta untuk diajak berunding. Lakukan pada orang tuamu!" tegas Bagas.

"Apa? kau suruh aku menculik ayah dan ibu, untuk apa?" bentakku.

"Untuk makan malam, Sobat. Kau pikir aku penjahat menyuruhmu menculik orang tua sendiri, dasar kamu!" kata Bagas diiringi gelak tawa kami.

"Ojo lali, ajak aku juga makan malam yo, lama tak makan enak nich!" rajuk Bagas.

"Ayo, ikut aku ke kampungku di Madura sana," ajakku sambil menyambar handuk cokelat.

"Khairul, ojo lali, pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat," teriak Bagas padaku sambil mengepalkan tangan.

Aku pun membalasnya penuh semangat.

Cerpen 2: Kegembiraan di Hari Perayaan Kemerdekaan Karya Risda Nurmeila

Sore hari yang sangat panas, pada hari Sabtu tanggal 17 Agustus 2013. Aku bersama kawan-kawan yaitu Rina, Eka, Ratna dan Ratih, bersiap-siap untuk mengikuti kegiatan lomba perayaan hari kemerdekaan yang diadakan dimulai dari rute kp. Neglasari - kp. perbatasan, yang jarak tempuhnya cukup jauh.

Diantara banyak lomba-lomba yang aku ikuti, lomba yang masuk final dan paling berkesan adalah lomba balap karung bersama kawan-kawan, memang sulit sih rasanya ketika harus meloncat memakai karung, otomatis loncatan yang kita lakukan harus refleks supaya balance (seimbang), dan Aku berusaha untuk menyeimbangkanya, setidakya adalah keikutsertaanku di dalam lomba ini.

Semua peserta lomba balap karung telah siap untuk mendengarkan aba-aba yang dilontarkan.
"Siap... mulai!!!" teriak pak Eman selaku pemberi aba-aba.

Lima menit berlalu mncapai setengah dari jalan yang sudah dilalui, tiba-tiba salah satu kawanku yaitu Eka di sebelahku terjatuh tepat di depan ku, sehingga menyulitkan langkahku untuk meloncat, Eka beberapa kali berusaha untuk bangun tapi sangat sulit, mungkin karena kakinya terkilir sehingga menyulitkan langkah Dia untuk berdiri, akhirnya Eka terpaksa berhenti dari perlombaan balap karung dan hanya menjadi penonton di tengah keramaian warga yang menyaksikan lomba. Aku sudah mulai menjauh dari tempat tadi dan berhasil bergerak meloncat menyusul Rina, kedua kawanku yang ada di depanku rupanya meloncat begitu cepat, Aku pun tidak ingin ketinggalan untuk cepat sampai menuju garis finish.

Dengan sekuat tenaga Aku berusaha meloncat dengan cepat, tetapi sayang kecepatanku mulai lemah, Rina yang tadi di belakangku kini mulai bergerak maju menyusulku, tak sampai disitu, Aku berusaha menambah kecepatan loncatan lebih cepat lagi dan akhirnya Aku berhasil melalui Rina. Sekarang targetku harus bisa melalui 2 orang yang ada di depanku, yaitu Ratna dan Ratih, tapi aku juga harus tetap waspada kalau-kalau Rina yang ada di belakangku berhasil melaluiku kembali.

Memang berat mengumpulkan kembali tenaga yang masih tersisa dengan keringat yang bercucuran di kening, serta panasnya siang hari, Aku abaikan dengan masih fokus untuk mengejar 2 orang temanku yang ada di depan. Kecepatan loncatan mereka berdua sangat bagus sehingga beberapa kali aku menambahkan kecepatan loncatan, kecepatan loncatan mereka semakin kencang. Benar-benar hebat Aku pun membutuhkan kecepatan loncatan ekstra untuk bisa menandingi mereka, dengan beberapa tenaga yang masih tersisa dan semangat 45 sesuai dengan hari kemerdekaan yang sedang dirayakan, akhirnya Aku berhasil melalui Ratih, targetku pun tinggal satu orang lagi yaitu Ratna. Dengan garis finish yang tinggal menyisakan beberapa loncatan lagi, aku berusaha mengejar Ratna, tetapi kecepatanku melemah mungkin karena kelelahan dan tenagaku yang terkuras cukup banyak, tak disangka Ratna pun berhasil melaluiku mencapai garis finish dan keluar sebagai juara 1 di lomba balap karung final tersebut, lalu aku sebagai juara 2 dan disusul Ratih sebagai juara 3.

Aku memang harus mengakui kalau Ratna yang tercepat, walaupun tak keluar sebagai juara 1, tetapi aku senang karena bisa melalui kecepatan Rina dan Ratih yang kecepatan loncatannya sama-sama hebat. Aku lalu menghampiri Ratna yang sejak usai lomba terlihat kelelahan, kini berubah dengan wajah yang berbinar-binar, karena perjuanganya tidak sia-sia memenangkan lomba.
"Selamat ya Rat kamu memang hebat!!!" ucapku.
"Makasih yaa!, Kamu juga hebat!" balasnya.
"Sama-sama, makasih!" balasku kembali.
Meskipun lomba balap karung ini tak begitu membanggakan bagi sebagian orang tetapi bagiku, kenangan indah kegembiraan-kegembiraan yang terselip di dalamnya begitu seru, kocak dan berkesan.

Lomba pun usai semua peserta dan penonton lomba pulang kembali ke rumahnya masing-masing.

Artikel ini ditulis oleh Savira Oktavia, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(irb/sun)


Hide Ads