Puluhan ribu hektare lahan tebu di Blitar selatan ternyata non prosedural. Alih fungsi lahan di wilayah pemangku ini selain mengakibatkan banjir bandang, juga merugikan negara Rp 38 miliar per tahunnya.
Administratur Perum Perhutani KPH Blitar, Muklisin mengungkapkan, penggarapan lahan secara non prosedural itu sebenarnya dimulai pascareformasi. Sekitar tahun 1998, terjadi degradasi karena banyaknya penjarahan kayu hasil hutan. Kemudian ada penggarapan lahan secara massif yang awalnya tumpang sari, lambat laun menjadi lahan tebu.
Namun sejak tiga tahun belakangan ini, KPH Blitar melihat kegiatan ilegal tersebut cukup massif mengkonversi jadi lahan tebu tanpa ada proses komunikasi dan pembahasan alih fungsi lahan. Sehingga dampaknya banyak tanaman kehutanan hilang dan dimatikan, yang berakibat memicu timbulnya bencana banjir bandang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Data awal ketika saya mulai bertugas di Blitar, luasan lahan tebu non prosedural itu sekitar 6000 hektare. Namun setelah ditelusuri keluasannya sampai 11. 610 hektare. Lokasinya menyebar dalam kawasan hutan di Blitar selatan. Mulai Panggungrejo , Sutojayan sampai Wonotirto," ungkap Muklis kepada detikJatim, Senin (31/7/2023).
Informasi yang diterima detikJatim tahun-tahun sebelumnya, Perhutani Blitar memang menjalin kemitraan dengan magersaren (Warga sekitar hutan lindung) untuk menggarap tanaman produktif. Namun kenapa baru sekarang disebut un-prosedural? Muklisin menjawab, faktanya selama ini tidak ada dokumen legal formal yang dipegang KPH Blitar. Termasuk ketentuan bagi hasilnya. Dan dulu, magersaren itu menggarap palawija, bukan tebu seperti sekarang.
Karena tidak ada akses legal formal, mereka tidak membayar biaya Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari hasil hutan non kayu. Muklisin merinci, dengan hasil panen tebu Rp 30 ribu/ton, asumsinya produktivitas rata 50 ton/hektare. Sharing untuk Perum Perhutani asumsinya minimal 10 persen setelah dikurangi PNBP dan biaya tebang muat angkut tebu, dengan harga tebu Rp 50 ribu bersih.
"Maka ada potensi kerugian negara PNBP dan sharing Perhutani senilai 38 miliar per satu kali musim tanam," ungkapnya.
Muklisin menganalisa, masifnya penggarapan lahan tebu ilegal ini karena makin tingginya permintaan tebu sebagai bahan produksi gula. Di zona barat Blitar, ada Pabrik Gula Mojopanggung yang lokasinya berbatasan dengan wilayah Kediri. Sedangkan di zona timur, munculnya pabrik gula baru RMI di Kecamatan Binangun, perbatasan dengan wilayah Kabupaten Malang.
Dengan timbulnya potensi kerugian negara tersebut, maka jelas ada pelanggaran hukum yang dilakukan. Muklisin menyebut diantaranya UU no 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Apalagi bagi korporasi yang menerima dari proses pengolahan dalam perkebunan kawasan hutan un-prosedural maka ada tindak pidana dan denda sesuai UU berlaku. Sedangkan bagi penadah melanggar Pasal 480 KUHP.
"Kami mendapat informasi tentang RMI yang ekspansi lahan kemitraan tebu. Tapi sampai saat ini RMI belum ada pembicaraan dengan kami. Kami malah mewarning RMI, karena dugaan kuat kami, hasil tebu dari lahan non prosedural ini masuknya ke RMI. Pasti ada penadahnya di dalam sana," tandasnya.
Perhutani tidak serta Merta melakukan penegakan hukum. Upaya pertama yang dilakukan adalah sosialisasi dan edukasi hukum. Sejak Juni tahun ini, sudah ada empat lokasi yang menjadi sasaran. Pertama, Kecamatan Sutojayan, kedua Kecamatan Bakung, ketiga Kecamatan Kalipare Malang. Dan akhir Juli ini di Kecamatan Kesamben.
Namun ada batasan tolerasi sampai pascapanen Agustus tahun ini, di running dengan win-win solution. Solusi pertama untuk lokasi hutan lindung, KPH Blitar menetapkan, pascapanen mereka tidam boleh menanam tebu lagi. Namun harus alih komoditi menjadi tanaman kehutanan jenis buah berkayu.
Harapannya, agar masyarakat bisa memanfaatkan buah sebagaimana ketentuan berlaku. Terpenting, fungsi hutan secara ekologi bisa kembali seperti semula.
Solusi kedua, untuk kawasan hutan produksi sekaligus mendukung ketahanan pangan, dibuat perjanjian kerjasama. Dengan syarat di antaranya, hamparan hutan eksisting 99 persen tanaman tebu dihentikan. Harus ada tanaman kehutanan model dobel track sistem yang telah dibuat perhutani. Ada kewajiban membayar PNBP dan membayar sharing hasil ke perhutani sebagai BUMN yang diberi kewenangan mengelola kawasan hutan pemangkuannya.
"Jika menolak, terpaksa penegakan hukum dilaksanakan. Sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Kami sudah ada MoU dengan Kejari Blitar untuk penegakkan hukum itu," tegasnya.
Informasi yang dihimpun detikJatim, masyarakat sekitar kawasan hutan sebenarnya hanya penggarap. Sedangkan pembukaan lahan besar-besaran di Blitar selatan ini melibatkan oknum penegak hukum. Muklisin mengakui adanya informasi itu. Untuk itu, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan para pimpinan penegak hukum di Blitar, dan intinya mereka sepenuhnya mendukung upaya pemberantasan lahan tebu non prosedural ini.
"Ada oknum yang mengerjakan satu hektare tapi itu dipakai alibi, kami sudah koordinasi dengan pimpinan aparat di sini. Dan para pimpinan itu mendukung penuh upaya kami memberantas lahan tebu ilegal ini," imbuhnya.
(hil/fat)