Kisah inspiratif ini termaktub dalam literatur klasik kitab fiqh I'anat Ath-Thalibin, karya Abu Bakr Syatho Ad-Dimyathi (1892 M). Syaikh Ad-Dimyathi menukilnya dari kitab berjudul Ar-Raudh Al-Faiq karangan Syaikh Syu'aib Al-Huraifisy (1407 M). Seperti dikutip detikJatim dari situs resmi Pesantren Tebuireng.
Alkisah, ada seorang fakir miskin puasa di hari Asyura bersama keluarganya. Namun ia bingung karena tidak punya apapun untuk berbuka puasa.
Fakir miskin itu lalu keluar rumah dan mampir di pasar. Di pasar tersebut, ia melihat seorang pemilik toko membentangkan tikar dan menumpukkan emas dan perak di atas tikar tersebut.
Sang fakir miskin itu lalu menghampiri pemilik toko itu. Ia memohon pinjaman uang.
"Wahai tuanku, aku adalah orang fakir. Semoga engkau dapat memberikanku pinjaman satu dirham saja, untuk aku belanjakan takjil buka puasa untuk keluargaku. Karena itu, aku akan mendoakanmu hari ini," ucap sang fakir miskin.
Namun pemilik toko itu tidak memberikan pinjaman. Sang fakir pulang dengan hati yang hancur hingga menangis.
Lalu ada seorang Yahudi yang melihat tangisan sang fakir itu. Yahudi itu pun menghampirinya. Yahudi itu ternyata tetangga si pemilik toko tadi.
"Iya. Aku bermaksud meminjam satu dirham kepadanya untuk keluargaku berbuka puasa. Namun, ia menolak, tidak mau memberikan hartanya," kata sang fakir kepada Yahudi itu.
"Kemudian, kukatakan padanya (si pemilik toko) 'aku akan mendoakanmu hari ini'" imbuhnya.
Yahudi itu pun penasaran dan bertanya lebih lanjut kepada sang fakir. "Hari apa sekarang?" ujarnya.
Sang fakir pun memberikan jawaban singkat. "Hari Asyura," jawabnya.
Mengetahui hari itu adalah hari Asyura, Yahudi tersebut lantas memberikan 10 Dirham kepada sang fakir. Sang fakir lalu berbuka puasa dengan uang pemberian itu bersama keluarganya.
Pada malam harinya, si pemilik toko tadi bermimpi seolah kiamat telah terjadi. Ia begitu sedih dan haus.
Di tengah penderitaannya dalam mimpi itu, ia melihat ada istana yang terbuat dari mutiara putih, pintunya dari permata berwarna merah. Kemudian si pemilik toko mengangkat kepalanya dan meminta air minum kepada pemilik istana itu.
"Istana ini milikmu dahulu. Namun, karena engkau menolak seorang fakir yang datang kepadamu waktu itu, namamu dihapus dari istana ini diganti dengan nama tetanggamu, orang Yahudi tersebut, yang telah membantu fakir miskin waktu itu," berikut seruan yang terdengar oleh si pemilik toko.
Sehingga saat pagi menjelang, si pemilik toko itu terus mengutuk dan mencela dirinya. "Engkau menukar pahala 10 Dirham yang engkau berikan kepada fakir miskin waktu itu dengan harga 100 dirham kepadaku," ucapnya.
"Demi Allah, meski ditukar dengan 100.000 Dinar pun (10 Dirham yang telah diberikan ke orang fakir), seandainya engkau memasuki istana yang aku lihat semalam, maka aku tidak akan mungkin masuk ke dalam istana itu (Orang Yahudi tersebut tidak akan mau menukar pahala 10 Dirhamnya, meski ditukar 100.000 Dinar, karena melihat ganjarannya yang sangat besar di akhirat nanti)," lanjut si pemilik toko.
Yahudi itu kemudian bertanya pada tetangganya itu. "Siapa yang memberitahumu tentang hal ini?" ucapnya.
"Dzat yang menjadikan segala sesuatu hanya dengan ucapan 'kun' (jadilah), maka terjadi. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah yang Maha Esa dan tidak ada tandingan bagi-Nya, serta aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu hamba-Nya dan utusan-Nya," tutup si pemilik toko.
Amalan Hari Asyura Selain Puasa
Terlepas dari kisah tersebut, dalam situs resmi Pesantren Tebuireng juga disebutkan bahwa salah satu amalan yang dianjurkan di hari Asyura adalah bersedekah.
Pada hari Asyura, ada keistimewaan dan kelebihan bagi orang yang mau bersedekah. Seperti yang diriwayatkan dari Abu Musa al-Madiny dari Ibnu Umar.
مَنْ صَامَ عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّمَا صَامَ السَّنَةَ ، وَمَنْ تَصَدّقَ فِيْهِ كَانَ كَصَدَّقَةٍ السَّنَةِ
Artinya: Barang siapa berpuasa pada hari Asyura seakan-akan seperti puasa satu tahun. Dan barang siapa bersedekah pada hari Asyura, maka seperti sedekah satu tahun.
Bahkan, memberi nafkah lebih pun menjadi amalan yang luar biasa di hari Asyura. Imam al-Thabrani dan Imam al-Baihaqi meriwayatkannya dari Abu Sa'id al-Khudri.
مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ كُلِّهَا
Artinya: Barang siapa memberi kelonggaran (nafkah) pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran (rizki) kepadanya sepanjang tahun.
(sun/iwd)