Penggunaan Dana Alokasi Khusus Bantuan Operasional Keluarga Berencana (DAK BOKB) dari BKKBN Rp 6 miliar untuk Pemkab Jombang, menuai pro dan kontra. Sebab anggaran tersebut bakal dihabiskan hanya untuk pulsa dan transportasi 3.045 orang pendamping keluarga stunting.
Ketua DPRD Jombang Mas'ud Zuremi mempertanyakan penggunaan DAK BOKB oleh Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKB PPPA) Jombang. Menurutnya tidak masuk akal jika anggaran Rp 6 miliar itu hanya untuk uang pulsa dan transportasi para pendamping keluarga.
"Pendampingnya juga harus jelas dari profesional atau elemen masyarakat yang lain. Kalau untuk pulsa dan transportasi kok begitu besar," kata Mas'ud kepada wartawan, Selasa (18/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh sebab itu, Mas'ud meminta Komisi D DPRD Jombang mengundang dinas terkait, yakni DPPKB PPPA dan Dinas Kesehatan dalam rapat dengar pendapat (RDP). Selain itu, Inspektorat Jombang juga bisa turun tangan menelisik penggunaan DAK BOKB Rp 6 miliar tersebut.
"Walaupun DAK, penggunaan anggaran harus sangat berhati-hati. Terlebih lagi stunting meningkat di Jombang. Anggaran harus disesuaikan untuk kebutuhan penanganan stunting. Kalau penanganan stunting dibelikan pulsa sangat tidak masuk akal," terangnya.
DAK BOKB dari BKKBN senilai Rp 6,09 miliar digunakan oleh DPPKB PPPA Jombang untuk membantu pulsa dan transportasi 3.045 pendamping keluarga. Setiap orang menerima pulsa Rp 100.000 dan transportasi Rp 100.000 selama 10 bulan tahun 2023.
Tim pendamping keluarga dibentuk di setiap desa dari unsur Tim Penggerak PKK, bidan desa, dan kader KB. Tugas mereka antara lain mendata dan melakukan verifikasi-validasi keluarga berpotensi stunting, konseling gizi, penimbangan bayi yang lahir, serta konseling calon pengantin dan ibu hamil.
Sedangkan anggaran untuk pencegahan dan intervensi terhadap balita stunting di Dinas Kesehatan Jombang tahun ini hanya Rp 379,7 juta. Anggaran ini antara lain untuk pemberian makanan tambahan balita stunting, obat-obatan dan vitamin, serta tablet penambah darah.
Padahal, jumlah balita stunting di Kota Santri mencapai 5.354 anak. Berdasarkan survei status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, angka stunting di Jombang 21,2 persen. Sedangkan tahun 2022 dari hasil pendataan Pemkab Jombang, angka balita stunting dan berpotensi stunting naik menjadi 22,1 persen.
Direktur Lingkar Indonesia untuk Keadilan (LINK) Jombang, Aan Anshori mengaku kesal dan terganggu dengan cara Pemkab Jombang menanggulangi stunting. Sebab anggaran Rp 6 miliar itu bukannya untuk memberi bantuan makanan dan dukungan gizi bagi balita stunting dan ibu hamil, tapi justru untuk pulsa dan transportasi tenaga pendamping.
"Padahal menurut Kemenkes ada 5 cara mencegah stunting. Semuanya berkaitan langsung dengan kondisi ibu dan bayi. Jika pendekatakan Pemkab Jombang seperti ini, bagaimana mungkin stunting bisa secara efektif akan diturunkan?," jelasnya.
Di sisi lain, Ketua Komisi D DPRD Jombang Erna Kuswati menilai penggunaan DAK BOKB Rp 6 miliar oleh DPPKB PPPA Jombang sudah sesuai aturan. Menurutnya, anggaran tersebut justru akan melanggar aturan kalau dialihkan untuk kebutuhan lainnya dalam penanganan stunting.
"Memang itu sudah ada petunjuk dari Kementerian BKKBN harus digunakan untuk pulsa dan transportasi kader. Tidak boleh digunakan untuk yang lain," ungkapnya.
Erna mengakui angka balita stunting di Jombang masih tinggi. Saat ini terdapat sekitar 38.000 keluarga berpotensi stunting di Kota Santri. Sehingga diperlukan peran semua pihak untuk menurunkan angka balita stunting. Terlebih lagi anggaran penanganan stunting dari APBD Pemkab Jombang sangat minim.
"Kalau anggaran di Dinkes hanya sekitar Rp 300 juta. Itu anggaran sangat kecil. Makanya itu kami butuh bahu membahu berbagai pihak untuk menurunkan stunting. Dunia usaha harapannya ada CSR untuk penanganan stunting. Juga edukasi tentang stunting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat yang masih rendah," tandasnya.
(abq/iwd)