Alokasi pupuk bersubsidi untuk para petani di Kabupaten Mojokerto dinilai masih kurang. Sebab jatah pupuk Urea dan NPK dari pemerintah pusat di angka 81 dan 48 persen dari kebutuhan para petani.
"RDKK (rencana definitif kebutuhan kelompok tani) tidak dicukupi semua oleh pemerintah. Contoh pupuk Urea dicukupi sekitar 84 persen, yang NPK 34 persen. Sehingga memang terjadi kekurangan, bukan pupuk langka," kata Kabid Sarpras Dinas Pertanian Kabupaten Mojokerto Arif Budi Setiawan kepada wartawan di kantornya, Kamis (22/6/2023).
Arif menjelaskan pemerintah pusat saat ini hanya memberikan subsidi terhadap pupuk Urea dan NPK untuk 9 komoditas. Yaitu padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, kakao, tebu dan kopi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, alokasi pupuk bersubsidi untuk para petani di Kabupaten Mojokerto tahun ini 20.997 ton urea dan 13.663 ton NPK. Pupuk bersubsidi khusus para petani dengan luas lahan garapan maksimal 2 hektare. Sesuai Kepmentan nomor 734 Tahun 2022, HET Urea Rp 2.250/Kg dan NPK Rp 2.300/Kg.
Jatah dari pemerintah pusat itu anjlok dibandingkan tahun 2022. Tahun lalu, para petani di Kabupaten Mojokerto mendapat alokasi 23.650 ton pupuk Urea, 635 ton pupuk SP-36, 2.430 ton pupuk ZA, 26.564 ton NPK, serta 5.388 ton pupuk organik.
Padahal, kebutuhan para petani Bumi Majapahit mencapai 26.000 ton pupuk Urea dan 28.000 ton NPK. Sebab saat ini terdapat sekitar 75.000 petani di Kabupaten Mojokerto. Luas lahan yang mereka garap sekitar 37.000 hektare.
"Dosis per hektare 275 Kg Urea dan 225 Kg NPK sekali musim tanam. Satu tahun 3 kali musim tanam," jelasnya.
Kekurangan pupuk bersubsidi di Kabupaten Mojokerto, kata Arif, sudah pihaknya sampaikan ke Kementerian Pertanian. Namun, pemerintah pusat meminta para petani juga menggunakan pupuk organi. Sedangkan para petani cenderung memilih pupuk kimia karena efek terhadap tanaman mereka lebih cepat.
"Alasan pertama, pemerintah tak mampu memberikan subsidi. Kedua, lahan tidak bagus diberi pupuk kimia terus menerus. Sekitar 8-10 tahun lahan akan rusak," terangnya.
Kurangnya jatah pupuk bersubsidi, lanjut Arif, tak lantas membuat anjlok hasil panen para petani di Kabupaten Mojokerto. Karena para petani terpaksa membeli pupuk nonsubsidi. Sebagian lagi mencampur pupuk bersubsidi dengan pupuk organik.
"Produksi gabah kami rata-rata 6 ton per hektare. Buktinya kami surplus gabah dengan keterbatasan alokasi pupuk bersubsidi," ungkapnya.
Arif menambahkan, saat ini Dinas Pertanian Kabupaten Mojokerto terus berupaya mengajak para petani menggunakan pupuk organik. Meski efeknya terhadap tanaman tak secepat pupuk kimia, pupuk organik tidak akan merusak lahan. Pupuk organik justru membuat lahan semakin subur.
"Ke depan wacananya pupuk bersubsidi sudah tidak ada. Bantuannya langsung tunai ke petani. Saya pikir itu nanti mengurangi risiko-risiko penyelewengan pupuk bersubsidi," tandasnya.
(abq/iwd)