29 Juni 2010, petaka menimpa Kereta Api (KA) Logawa di Dusun Petung, Desa Pajaran, Saradan, Madiun. 6 dari 11 rangkaian gerbong terguling masuk jurang. Peristiwa memilukan 13 tahun silam itu merenggut 6 nyawa.
Berdasar arsip pemberitaan detikcom, petaka itu terjadi pukul 14.30 WB. Lokomotif CC 20156 menarik gerbong Logawa relasi Purwokerto-Jember. Setibanya di jalur menikung Desa Pajaran, kecelakaan mengerikan terjadi.
Salah seorang yang berada di dalam gerbong paling belakang ialah Edi Budiarto. Edi merupakan pegawai Perumka PT KA yang dinas di Stasiun Madiun. Dia merasakan gerbong yang ditumpanginya bergulung-gulung hingga 5 kali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lima kali nggulingnya, tapi pelan," kata Edi di tengah perawatan medisnya di RS Panti Waluyo, Caruban, Madiun.
Edi mengungkap semua orang di dalam gerbong yang ditumpanginya itu histeris. Banyak dari mereka yang merintih kesakitan.
"Ya semua orang teriak histeris. Semua badan rasanya sekarang sakit semua," tambah Edi.
Saat terguling itulah, kata Edi, dirinya merasakan seperti berada di dalam kaleng yang dikocok.
"Saya tersiram air panas milik pedagang asongan," kata Edi yang menderita luka di kaki itu.
Edi yang menumpang di gerbong belakang mengakui jika saat kejadian laju kereta dalam keadaan cukup cepat. "Ya saya kira anjlok ternyata terguling begitu parahnya," kata Edi yang sehari-hari tinggal di Perumahan Wilis, Kediri.
Menurut Kepala Puskom Publik Kementerian Perhubungan saat itu, Bambang S Ervan, tergulingnya KA Logawa antara Saradan-Wilangan itu merupakan peristiwa luar biasa hebata (PLH).
"Kita nyebutnya peristiwa luar biasa hebat, PLH," terang Bambang.
Akibat kecelekaan itu, enam orang tewas. Keenam orang itu adalah Agus Riyanto (34), warga Desa Sirapan Kabupaten Madiun; Rahmat Bayu Rianto (15), warga Jalan Manggala Mulya, Kota Madiun; Hariadi M Noor Khoiri (38), warga Jalan Hasyim Asyari, Malang; Kuatno (29), warga Sibalung, Banyumas; Sholeh (58), warga Jalan Kalimantan, Madiun; dan Ibnu Malik (35), warga RT 4 RW 1 Desa Genengan, Blitar.
Penyelidikan untuk mencari penyebab kecelakaan itu lantas segera dilakukan. 5 petugas KA diperiksa. Mereka diminta membuat surat pernyataan terkait kelaikan jalan kereta.
"5 petugas Stasiun Madiun yang biasanya bertugas mengecek kondisi KA kita panggil untuk menandatangani surat pernyataan kalau KA Logawa kondisi sebelum kecelakaan baik tak ada masalah," jelas Humas Daops VII Madiun saat itu, Hariyono, 2 Juli 2010.
Menurut Hariyono, kelima petugas tersebut hanya membuat surat pernyataan bukan diinterograsi karena sudah melakukan pengecekan sebelum KA logawa melanjutkan perjalanan ke Jember dan mengalami kecelakaan di Desa Pajaran, Kecamatan Saradan yang berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk.
"Surat pernyataan itu ditandatangani untuk kelengkapan penyelidikan," ungkapnya.
Penyelidikan juga melibatkan kepolisian. Polda Jatim saat itu mengiri satu tim yang beranggotakan 6 orang.
"Kita back up polres untuk membantu penyelidikan. Satu unit kita kirim ke Madiun. Jumlahnya 6 orang," kata Kapolda Jatim kala itu Irjen Pratiknyo kepada wartawan di sela-sela acara syukuran HUT Polri ke 64 di Gedung Mahameru Polda Jatim, 1 Juli 2010.
Pratiknyo menyatakan jika menginginkan kepastian sebaiknya menunggu hasil dari KNKT. Alasannya, di dalam KNKT ada anggota Polri namun pihaknya tetap akan membackup.
"Kalau lihat posisinya kan di tikungan dan menurut ilmu dorongan dari samping lebih kuat sehingga semburat," tambahnya.
Setelah melakukan serangkaian investigasi penyebab kecelakaan, masinis dan asisten masinis KA Logawa itu ditetapkan sebagai tersangka. Hampir setahun berselang, 14 Maret 2011, Pengadilan Negeri (PN) Kabupaten Madiun menjatuhkan vonis penjara kepada keduanya.
Dilansir dari Antara, Masinis Logawa, Rohmadi divonis 1 tahun 2 bulan penjara atau 14 bulan penjara. Sedangkan asisten masinis, Saidah divonis 11 bulan penjara. Keduanya dinyatakan melanggar Pasal 206 Ayat 3 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
Keduanya menjalankan lokomotif melebihi batas kecepatan saat melintas di jalur menikung. Harusnya, batas kecepatan saat kereta melintas di jalur tersebut maksimal 70 km. Namun, berdasar keterangan sejumlah saksi di persidangan, kecepatan kereta saat itu tercatat secara manual 84 km/jam dan secara lok sistem atau otomatis tercatat kecepatannya 89 km/jam.
Jatim Flashback adalah rubrik spesial detikJatim yang mengulas peristiwa-peristiwa di Jawa Timur serta menjadi perhatian besar pada masa lalu. Jatim Flashback diharapkan bisa memutar kembali memori pembaca setia detikJatim. Jatim Flashback tayang setiap hari Sabtu. Ingin mencari artikel-artikel lain di rubrik Jatim Flashback? Klik di sini.
(dpe/dte)