Cerita Sony Dwi Kuncoro di Balik Keputusannya Gantung Raket

BNI Sirnas A 2023 Surabaya

Cerita Sony Dwi Kuncoro di Balik Keputusannya Gantung Raket

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Selasa, 23 Mei 2023 18:00 WIB
Sony Dwi Kuncoro saat menghadiri pertandingan BNI Sirnas A Jawa Timur yang dihelat di GOR Soedirman Surabaya
Sony Dwi Kuncoro saat menghadiri pertandingan BNI Sirnas A Jawa Timur yang dihelat di GOR Soedirman Surabaya (Foto: Praditya Fauzi Rahman/detikJatim)
Surabaya -

Mantan atlet bulutangkis Indonesia, Sony Dwi Kuncoro mengaku berat saat memutuskan gantung raket. Namun, Pandemi COVID-19 telah meluluhkan semua sektor di dunia, termasuk Indonesia. Hal ini membuat para atlet bulutangkis tak bisa bertanding lantaran tak ada turnamen yang digelar.

Namun akhirnya, Sony menyadari pilihannya menggantung raket setahun lalu sudah tepat. Kini, ia merasa keputusannya mendirikan dan membesarkan sekolah bulutangkis memang jalan Tuhan.

"Saya mulai ngelatih pas saya berhenti, kalau GOR kan 2012 sudah ada, kalau klub pas saya berhenti pas COVID-19. Dari situ saya menyadari bahwa memang sudah waktunya saya berhenti," kata Sony saat ditemui di GOR Sudirman Surabaya, Selasa (23/5/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kebetulan sponsor juga sudah setop, lalu di situ saya belajar untuk melatih," imbuh dia.

Di sisi lain, Sony mengaku pagebluk tak selamanya membawa dampak negatif. Ia mengungkapkan ada hal positif yang bisa ia tuai, diantaranya jumlah peserta didik bulu tangkisnya kian bertambah.

ADVERTISEMENT

"Dulu pas COVID-19 kan banyak kegiatan dan banyak anak, karena kan nggak ada sekolah, tapi ya alhamdulillah pas COVID-19 justru banyak calon atlet yang mau bulutangkis," ujar pria yang telah mempersembahkan 5 medali emas untuk Indonesia di ajang SEA Games itu.

Ia pun memutuskan untuk benar-benar berhenti menjadi atlet bulutangkis. Lalu, ia mendirikan Sony Dwi Kuncoro Training Club.

Ketika tercetus mendirikan sekolah bulutangkis itu lah, Sony mengaku banyak belajar. Bahkan, memperoleh tantangan, pengalaman, dan sejumlah hal baru. Meskipun ia mengakui saat menjadi atlet dan melatih sangat jauh berbeda. Namun, ia menikmati proses ini.

"Saya lebih banyak dan memperbanyak pengalaman ke sirkuit, saya belajar bagaimana melatih dan melihat potensi anak, lalu mengembangkannya," ungkap dia.

Sebagai pelatih, Sony mengaku harus ekstra sabar. Menurutnya, ia tak bisa seenaknya memaksakan atlet yang dilatih harus persis seperti dirinya.

"Kita tetap memberi masukan dan ilmu, tapi atlet juga harus punya inisiatif sendiri, kalau program sih oke. Tapi, memang ada gak sabarnya dan mungkin ada kata-kata yang gak ngenakin di hati, nah itu memang saya harus sabar untuk menjadi pelatih, karena anak-anak atlet tidak bisa dilatih terus dan diomeli, tapi mendongkrak psikologisnya biar lebih baik lagi," tutur pria berusia 39 tahun itu.

Lambat laun, jumlah atletnya kian bertambah. Namun, ia mengeluhkan masalah pembiayaan dan sebagian atlet binaannya harus mandiri.

"Jadi begini, tempat saya ini kan tidak membiayai dan belum ada biaya, mereka semua mandiri. Nah, di situ apa yang masuk di saya ya saya terima, seperti pembinaan, kalau atlet sudah juara dan bagus itu lebih mudah, tapi di atlet saya bisa dibilang ke mana saja dan yang pasti saya latih," paparnya.

"Selama ini di Sirnas maksimal masih 8 besar di tahun ini, beda dengan tahun kemarin. Jumlah atlet saya 10 sampai 15 orang, belum banyak ya, apalagi asrama juga belum jadi dan proses pembangunan. Tapi, kalau yang saya berangkatkan BNI Sirnas A Jatim di Surabaya sekitar 15, memang jumlah segitu tidak terlalu banyak dibanding klub-klub besar, saya rasa untuk klub sekelas kami cukup banyak juga," tutup dia.




(hil/iwd)


Hide Ads